Sabtu 30 Jul 2011 18:26 WIB

Nelayan Kendal Tolak Bantuan Kapal dari Pemprov Jateng

Rep: C06/ Red: taufik rachman

REPUBLIKA.CO.ID,SEMARANG -- Sejumlah nelayan di Kabupaten Kendal menolak bantuan kapal dari pemprov Jateng. Mereka menilai, biaya operasional kapal tidak sebanding dengan hasil tangkapan mereka.

Sugeng, salah satu nelayan di Desa Gempal Sewu, Kecamatan Rowosari, Kabupaten Kendal menuturkan, kapal bantuan itu membutuhkan biaya Rp 20 juta sekali melaut. "Biaya itu jelas memberatkan kami, katanya, Jumat (29/7).

Menurut Sugeng, rata-rata nelayan di daerahnya memiliki kapal berbobot kurang dari 10 gross ton. Dengan kapal tersebut, mereka mampu melaut sejauh 1-2 mil. Sekali melaut, nelayan mengeluarkan ongkos hanya Rp 500 ribu.

Sedang kapal bantuan dari gubernur ini berbobot 30 gross ton. Kapal ini mampu beroperasi hingga jauh ke tengah laut. Meski mampu menjangkau lebih jauh, Sugeng tak yakin bila hasil tangkapan akan lebih banyak.

Berdasar pengalamannya, bila musim ikan sedang sepi, meskipun nelayan melaut hingga ke tengah, tetap tidak akan mendapat hasil lebih. Oleh sebab itu, ia menganggap jika bantuan berupa kapal yang lebih besar ini tidak tepat sasaran.

Ia mengaku, disamping memberi kapal, pemprov juga memberi modal awal operasional sebesar Rp 45 juta. Namun Sugeng menilai, modal awal ini juga tidak terlalu banyak manfaatnya. "Percuma kami diberi modal untuk beberapa kali melaut, tapi berikutnya kami tidak punya biaya operasional lagi," katanya.

Ketua Kelompok Nelayan 'Wilujeng', Marsiyo mengatakan, kapal bantuan itu dapat menampung hingga 30 nelayan. Untuk mendapat satu kapal besar, nelayan harus menukarkannya dengan 10 kapal kecil.

Di laut lepas, ia mengaku ada kapal asing yang ikut mencari ikan. Namun jumlahnya tidak banyak di lepas pantai Laut Jawa. Menurut Marsiyo, ia sering bertemu setidaknya 2 kapal nelayan berbendera asing. "Mereka dari Thailand, Cina, Kamboja, dan negara lain," tuturnya.

Marsiyo setuju dengan Sugeng yang menganggap bantuan kapal besar untuk nelayan tidak tepat. Ia menceritakan, umumnya sekali melaut dengan kapal kecil, nelayan mendapat hasil tangkapan senilai Rp 1 juta.

Setelah dikurangi biaya operasional sebesar Rp 500 ribu dan setor juragan sebesar Rp 200 ribu, nelayan hanya mendapat untung bersih Rp 300 ribu. Jumlah ini kemudian dibagi rata kepada 5 nelayan yang berada di dalam kapal itu.

Ia khawatir,bila tangkapan ikan sedang sepi, nelayan akan rugi jauh lebih besar. Nelayan takut tidak sanggup menutup modal operasional hingga Rp 20 juta, sedang hasil perolehan tangkapan ikan tidak menentu. Menurutnya, nelayan bahkan dikhawatirkan sampai berhutang hanya untuk menutup biaya operasional kapal.

Marsiyo juga berpendapat bila nelayan belum tentu mendapat tangkapan lebih banyak bila melaut hingga ke tengah. "Semua tergantung musim," ujarnya.

Marsiyo mengaku tidak pernah diajak diskusi oleh pemerintah mengenai bantuan apa yang dibutuhka nelayan. Ia menganggap, kebijakan yang ditempu pemerintah hanya sepihak saja, tanpa mendengar aspirasi sesungguhnya dari mayoritas nelayan.

Pemerintah provinsi Jateng sendiri menargetkan 100 unit kapal bagi nelayan di Jawa Tengah. Untuk tahun 2011, pemprov menargetkan bantuan sebanyak 27 kapal.

Bantuan ini melengkapi jumlah armada sebanyak 35 kapal. Sebelumnya, Jateng telah mendapat bantuan kapal dari pemerintah pusat sebanyak 8 buah di tahun 2010. Target bantuan 100 kapal akan selesai pada 2014.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement