REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Majelis Ulama Indonesia (MUI) mewacanakan penyematan hukum agama terhadap penggunaan bahan bakar minyak bersubsidi (premium). Fatwa energi tersebut berkaitan dengan tak terkendalinya pemakaian premium yang secara langsung berdampak pada membengkaknya subsidi dalam APBN.
Menurut pengamat ekonomi Dradjad Wibowo, penggunaan fatwa MUI untuk melegitimasi kebijakan pembatasan penggunaan BBM, merupakan langkah yang tidak cerdas dan tidak efektif. Tidak cerdas lantaran fatwa premium mencapuradukkan sebuah urusan yang tidak mempunyai dasar syariat yang kuat, tidak efektif karena rendahnya kadar ketaatan masyarakat terhadap fatwa MUI.
“Ini sama saja membawa sesuatu yang bukan domain fatwa ke dalam fatwa, hanya menegaskan menteri-menteri sudah kehabisan akal,” kata Dradjad Wibowo, Kamis (30/6).
Dradjad melanjutkan, daripada menggunakan MUI, pemerintah lebih baik fokus membenahi sistem pajak dan cukai kendaraan bermotor untuk mengendalikan pemborosan BBM.
Selain itu, pemerintah juga harus terus bekerja keras menyediakan layanan dan fasilitas transportasi umum yang baik agar pemakain BBM berkurang secara signifikan. “Sudahlah jangan aneh-aneh, menteri-menteri itu saja yang tidak bisa mengatasi masalah,” kata Dradjad.