REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Kebijakan pensiun dini tidak hanya merampingkan jumlah PNS yang gemuk, tapi bisa menghemat anggaran belanja pegawai. Alasannya, jumlah gaji yang harus dibayar sampai pensiun dibanding uang kompensasi saat pensiun dini jauh lebih besar. Anggaran yang bisa dihemat bisa dipakai untuk keperluan lain.
Hal itu disampaikan Dirjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan Agus Suprijanto, Ahad (26/6). Ditjen Perbendaharaan merupakan unit kerja yang menjadi uji coba pelaksanaan kebijakan pensiun dini di lingkungan Kemenkeu. Saat ini, masih ada beberapa skema dalam kebijakan pensiun dini.
"Kalau yang kita gunakan itu mengambil referensi dari perusahaan-perusahaan, terutama bank-bank yang sudah jalan,seperti BRI, Bank Permata, kita mengambil model dari sana," kata Agus. Kebijakan pensiun dini yang berlangsung di Ditjen Perbendaharaan masih bersifat sukarela, yakni ditawarkan kepada pegawai yang memasuki usia 50 tahun.
Biaya yang ditanggung pemerintah dalam membayar kompensasi ini sebenarnya lebih ringan. Jika tidak pensiun dini, berarti pemerintah harus membayar gaji pegawai tiap bulan dari pegawai itu berusia 50 hingga 56 tahun. Sebaliknya, kalau pegawai mengajukan pensiun dini, pemerintah hanya membayar kompensasi yang nilai lebih kecil dibanding akumulasi gaji.
"Ada setting yang sangat besar di situ. Penghematan besar," kata Agus. Dia mengatakan, selain mendapat uang kompensasi, pegawai yang pensiun dini juga tetap berhak mendapat uang pensiun yang dibayar setiap bulan hingga meninggal. Menurut Agus, tawaran pensiun ini banyak diminati, khususnya bagi pegawai yang ditempatkan di daerah.
Agus tidak bisa menyebut besarnya nilai kompensasi yang diberikan kepada pegawai yang pensiun dini. "Nilai kompensasi yang kita tawarkan itu mereka bisa membeli kebun kelapa sawit misalnya, lalu setiap bulan dapat hasil. Ada lagi yang tidak punya rumah dia bisa punya rumah," kata Agus.
Agus menegaskan, pensiun dini memang masih bersifat sukarela, namun dasar hukumnya kuat kalau memang akan dituangkan dalam peraturan. "Sebetulnya, ada Undang-Undang kepegawaian yang bilang kalau ada karena reorganisasi itu bisa dipensiunkan," katanya. Tapi, kebijakan belum pernah dilakukan karena sangat sensitif.
Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengatakan, jumlah PNS perlu waspadai karena jumlahnya sudah cukup tinggi. "Program reformasi birokrasi adalah inisiatif yang kita harapkan agar produktivitas PNS kita meningkat," kata Agus di Gedung DPR, pekan lalu.
Dia mengatatakan, kadang-kadang secara tidak sadar terus menambah PNS hanya dengan satu proses yang terlalu sederhana. "Padahal, jumlah PNS itu kalau ingin ditambah betul-betul harus melalui proses yang baik, yaitu di Kementerian PAN dan Reformasi Birokrasi, Badan Kepegawaian Negara, dan Kemenkeu," katanya.
Menurut Agus, penambahan PNS harus hati-hati karena tidak hanya menyangkut pembayaran gaji saja, namun berhubungan juga dengan tunjangan hari tua da pensiun. "Itu akan berakibat kepada institusi seperti Taspen, Askes, Asabri yang nanti akan mengalami kesulitan keuangan karen meningkatnya jumlah PNS secara mendadak dan kurang terencana," katanya.
Berdasarkan data Ditjen Anggaran Kemenkeu, belanja pegawai dalam APBN 2011 sebesar Rp 180,8 triliun. Jumlah belanja pegawai tersebut terus meningkat. Dalam APBNP 2010, belanja pegawai sebesar Rp 162,7 triliun. Pada 2005, belanja pegawai hanya sebesar Rp 54,3 triliun, kemudian 2006 Rp 73,3 triliun, 2007 Rp 90,4 triliun, 2008 Rp 112,8 triliun, dan 2009 Rp 127,7 triliun.
Wakil Menteri Keuangan Anny Ratnawati menambahkan, PNS juga perlu diupayakan agar produktif, sehingga kemampuan PNS itu harus bisa ditingkatkan melalui latihan-latihan. Jika setelah dilatih belum ada peningkatan kinerja, maka perlu dipikirkan cara yang baik.
"Kita jadi terbebani dengan SDM yang besar itu menghabiskan uang negara itu tidak produktif dan itu salah," katanya.