REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa mengakui proses pengadilan di Arab Saudi, sebagaimana telah dinilai oleh sejumlah lembaga internasional, sebagai tidak transparan terkait dengan kelalaian pihak Arab Saudi tidak menginformasikan kepada Pemerintah Indonesia eksekusi Ruyati Binti Satubi, WNI yang dituduh membunuh majikannya.
"Proses pengadilan di Arab Saudi tidak transparan. Tercatat dari laporan lembaga internasional, tidak hanya jadwal eksekusi tapi juga akses pengacara juga sangat terbatas," kata Menlu Marty di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis (23/6) pagi.
Menlu menyampaikan hal itu dalam penjelasannya mengenai langkah-langkah yang telah dilakukan pemerintah terutama Kementerian Luar Negeri guna melindungi warga negara Indonesia di luar negeri dan terkait kasus hukum pancung terhadap Ruyati binti Satubi, TKW yang terbukti melakukan pembunuhan terhadap majikannya.
Khusus untuk kasus Ruyati, Menlu mengatakan bahwa perwakilan Indonesia di Arab Saudi, KJRI Jeddah telah melakukan pendampingan kepada yang bersangkutan sejak Ruyati ditahan oleh kepolisian Arab Saudi dan menjalani persidangan guna memastikan hak-hak Ruyati dipenuhi.
Pihak KJRI di Jeddah, kata Menlu, juga mengupayakan pengampunan ke keluarga korban dan Gubernur Mekkah --walupun ditolak-- setelah Ruyati mengaku dalam persidangan bahwa ia memang membunuh majikannya pada 12 Januari 2010. Menlu Marty menyebut hal itu sebagai suatu fakta yang tidak boleh dilupakan.
Ia juga mengatakan bahwa pihak KBRI telah menyampaikan hal itu kepada keluarga Ruyati. Namun, lanjut dia, sementara proses permohonan pengampunan dilakukan pada 18 Juni 2011 otoritas Arab Saudi melakukan eksekusi terhadap Ruyati tanpa memberitahu perwakilan Indonesia.
Menlu Marty mengatakan Pemerintah Indonesia telah menyampaikan nota protes terhadap pemerintah Arab Saudi terkait kelalaian tersebut dan dua kali memanggil duta besar Arab Saudi di Indonesia. "Indonesia mengecam dan menyampaikan protes keras, eksekusi tanpa pemberitahuan lebih dahulu bertentangan dengan praktik internasional," katanya.
Menurut Menlu, Dubes Arab Saudi telah menyampaikan permintaan maaf karena pemerintahnya tidak menyampaikan informasi. "Kita juga memanggil pulang dubes kita untuk memberikan protes kuat," katanya.
Lebih lanjut Menlu mengatakan bahwa kejadian serupa juga seringkali dialami oleh warga negara India, Sri Lanka, Nigeria dan Filipina. Sementara terkait dengan komentar para pengamat yang selalu menyebut Filipina sebagai salah satu negara yang terbukti berhasil memberikan perlindungan terhadap pekerja migrannya, Menlu memberi contoh bahwa perwakilan Filipina di Arab Saudi pada 1999 mengetahui warga negaranya dieksekusi setelah dua pekan kemudian.
Menurut sumber terbuka, kata dia, semenjak 2001-2006 terdapat enam warga negara Filipina yang dijatuhi hukuman mati sekalipun ada intervensi dari kepala negaranya. "Bukan upaya pembenaran, hanya menyampaikan fakta. Beberapa hari ini upaya pemerintah digambarkan jauh dari upaya negara lain, tentu terbuka peluang lebih baik tapi fakta juga diperlukan," katanya.
Ia mengutip data tentang Filipina berdasarkan sumber terbuka karena pengamat atau politisi di Indonesia sering menyebut Filipina berhasil memastikan tidak ada satupun negaranya kena hukuman mati. Sementara itu semenjak 1999-2011, lanjut Menlu, dua orang WNI dijatuhi hukuman mati.
Menlu merupakan satu dari tiga menteri yang menyampaikan laporan hasil kerjanya terkait perlindungan WNI. Kedua menteri yang lain adalah Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar dan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar.