REPUBLIKA.CO.ID, JEMBER - Pengamat politik dari Universitas Jember Rachmat Hidayat MPA menyatakan bahwa kepala daerah yang melakukan korupsi dipengaruhi oleh partai politik pendukungnya pada saat pilkada.
"Biasanya ada politik utang budi yang harus dibayar oleh kepala daerah kepada parpol pendukungnya, dan terkadang hal itu menyebabkan kepala daerah yang bersangkutan menyalahgunakan kewenangannya," kata Rachmat Hidayat MPA di Jember, Jatim, Kamis.
Data di Kementerian Dalam Negeri tercatat sebanyak 158 kepala daerah (gubernur, bupati dan wali kota) berstatus tersangka. Jumlah tersebut sangat besar, sekitar sepertiga dari jumlah kepala daerah.
Bupati dan Wakil Bupati Jember MZA Djalal dan Kusen Andalas pernah ditetapkan sebagai tersangka, bahkan keduanya kini dinonaktifkan dari jabatannya. Hingga kini kasus yang menjerat kedua pejabat di Jember itu masih diproses di Mahkamah Agung.
Menurut dia, kepala daerah yang terpilih terkadang bukan murni aspirasi dari masyarakat karena majunya seorang kepala daerah sangat dipengaruhi oleh kebijakan pengurus partai yang ada di pusat.
"Semua kebijakan parpol di daerah akan diserahkan ke pusat, sehingga peranan parpol di pusat untuk menentukan calon gubernur, bupati, dan wali kota sangat dominan," tuturnya.
Pengajar ilmu administrasi negara FISIP Unej itu menilai demokrasi pada saat pilkada belum sepenuhnya terjadi karena calon kepala daerah harus membayar biaya politik yang cukup besar kepada parpol pendukungnya. "Fungsi parpol di Indonesia belum sepenuhnya berjalan dengan baik, bahkan tidak sedikit kepala daerah menjadi mesin 'ATM' bagi keuangan parpol pengusung," katanya, menegaskan.
Kendati demikian, Rachmat tidak setuju dengan wacana penghapusan pilkada langsung di tingkat provinsi yang disampaikan Mendagri dan DPR, karena hal tersebut merupakan kemunduran demokrasi. "Mengatasi banyaknya kepala daerah yang tersangkut korupsi tidak cukup berpikir linier pada mahalnya biaya pilkada, namun dibutuhkan satu pendekatan berpikir sistem yang komprehensif," ucap dosen FISIP Universitas Jember itu.
Penyalahgunaan diskresi oleh kepala daerah, lanjut dia, dapat diatasi melalui pengaturan dalam Rancangan UU Administrasi Pemerintahan.