REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG - Pengamat hukum dan politik dari Universitas Nusa Cendana Kupang Nicolaus Pira Bunga mengatakan faktor politik cukup berpengeruh dalam mendorong kepala daerah melakukan tindak pidana korupsi. "Korupsi itu terjadi karena adanya peluang, dan sebagai penguasa anggaran, kepala daerah tentu tahu celahnya untuk melakukan penyimpangan, dan penyimpangan itu terjadi karena dorongan politik selama proses suksesi kepemimpinan berlangsung," katanya di Kupang, Selasa (21/6).
Mantan Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Undana Kupang, itu mengemukakan pandangannya tersebut ketika ditanya soal pernyataan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi yang menyebutkan bahwa 158 kepala daerah di Indonesia (gubernur, bupati dan wali kota) berstatus tersangka akibat terlibat dalam kasus tindak pidana korupsi.
Pira Bunga yang juga staf pengajar pada Fakultas Hukum Undana Kupang, itu mengatakan kasus korupsi yang menimpa hampir sepertiga dari jumlah kepala daerah di Indonesia itu bukan mencerminkan buruknya faktor moralitas seorang pemimpin. "Seorang gubernur, bupati ataupun wali kota sampai melakukan tindakan demikian karena memiliki kekuasaan yang tidak dikontrol dengan baik oleh parlemen," ujarnya.
Ia menambahkan kekuasaan tanpa adanya kontrol yang bagus dari parlemen atau pun rakyat, selalu membuka ruang kepada penguasa untuk melakukan penyimpangan dengan memanfaatkan dana APBN maupun APBD yang ada. "Sebagai penguasa anggaran, seorang kepala daerah tentu tahu celah-celah untuk melakukan penyimpangan, dan ambisi untuk melakukan penyimpangan tersebut akibat dorongan politik selama suksesi berlangsung," ujarnya.
Menurut dia, untuk menghentikan fenomena buruk tersebut memang agak sulit, karena biaya politik sangat mahal bagi seorang kepala daerah sampai menuju ke kursi kekuasaan. Salah satu langkah untuk mencegah fenomena buruk tersebut, kata Pira Bunga, gubernur sebagai perpanjangan tangan Pemerintah Pusat di daerah sebaiknya ditunjuk langsung oleh presiden, tanpa harus melalui proses pilkada.
"Biaya politik dalam pemilu gubernur justru jauh lebih mahal dibanding biaya politik untuk pemilu kepala daerah (bupati atau wali kota), karena ruang lingkup wilayahnya jauh lebih luas. Ini yang sebaiknya tidak perlu dilakukan lagi," ucapnya, menegaskan.
Menurut dia, sistem pemilihan gubernur melalui DPRD memang sedikit pengeluarkan biaya, namun tidak tertutup kemungkinan terjadinya praktik politik uang dalam proses pemilihan tersebut. Karena itu, kata Pira Bunga, gubernur sebaiknya ditunjuk langsung oleh Presiden, karena lebih berfungsi sebagai koordinator antarwilayah dalam sebuah provinsi, karena otonomi daerah sudah diletakkan pada daerah tingkat II (kabupaten/kota).
Dengan demikian, tambahnya, DPRD di tingkat provinsi juga harus dihapus, karena tidak memiliki fungsi lagi dalam mengontrol jalannya pemerintahan serta pengawasan anggaran.