REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Wakil Sekjen PPP, Romahurmuziy menegaskan ketidaksetujuannya jika besaran Parliamentary Treshold (PT), atau bambang batas parlemen dibawa ke paripurna untuk dilakukan mekanisme voting. "Akan tidak baik jika dalam rapat paripurna diambil keputusan dengan cara voting. Saya bisa memastikan PPP, kalau voting, akan melakukan walk out," katanya.
Karena, lanjutnya, mekanisme itu sudah menjurus pada pemaksaan kehendak. Dikhawatirkan kalau hal tersebut dilakukan terus menerus, akan berdampak pada etika politik Indonesia ke depan. Contohnya, seolah pihak yang menjadi mayoritas akan dimenangkan meski itu atas nama parlemen.
Ia beranggapan langkah voting di saat UU itu masih berupa draf usulan DPR hanya akan memperlihatkan langkah penetapan PT dan penentuan kursi berdasarkan pada kepentingan partai tertentu. Dampaknya, demokrasi yang berkembang pun menjadi tidak sehat.
Karena yang terjadi adalah upaya mendapatkan kursi secara mayoritas. "Ini akan mencederai demokrasi prosedural kita ke depan," katanya menegaskan.
Tak hanya itu, sistem pemilu di Indonesia tidak boleh digunakan sebagai alat tawar menawar dan alat untuk melakukan pemasungan demokrasi. Romy, sapan akrabnya, menilai pemilu 2004 dan 2009 telah memberikan pelajaran berharga.
Yakni sistem pemilu yang telah memberikan ruang untuk menyerderhanakan parpol di parlemen dan tetap mengakomodasi keanekaragaman dari masyarakat. Terlihat dari jumlah pemilih yang terkonversi menjadi kursi lebih besar ketimbang jumlah yang tidak terkonversi menjadi kursi.
"Tetapi, jika ditingkatkan sampai 5 persen, ada masalah dari tingkat keterwakilan para anggota parlemen di periode 2014. Karena jumlah yang berubah yang menjadi kursi menjadi jauh lebih sedikit dibandingkan yang tidak menjadi kursi," katanya. Artinya, unsur keterwakilan dari para pemilih yang dipertanyakan PPP.