REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Revisi UU MK dilakukan karena DPR beranggapan MK sering mengangkanginya. "Itulah DPR mengapa tiba-tiba merevisi UU MK," ujar Wakil Dekan IV Fakultas Hukum (FH) Universitas Diponegoro (Undip), Leo Tukan Leonard di Jakarta, Selasa (21/6).
Leo menyebut, DPR membawa banyak kepentingan sehingga proses revisi terkesan terburu-buru. Dari sisi akademis, ucap dia, UU patut dikaji ulang jika keberadaannya kurang baik atau perlu disempurnakan. "Tapi, DPR ini bukan memperbaiki, malah mengacaukan," katanya.
Karena DPR sudah ketok palu, maka revisi harus tetap jalan dan tak bisa dihentikan. Yang jadi masalah, kata dia, masukan-masukan dari publik tak pernah didengar para wakil rakyat. Apabila dugaannya benar DPR mengusung kepentingan pribadi maupun kelompok, yang dirugikan adalah MK.
Sebab, terlihat jelas DPR ingin memangkas kewenangan MK. Padahal, kata Leo, MK harusnya diperkuat bukan diperlemah. Sebab, termasuk lembaga yudikatif yang kinerjanya cemerlang di mata masyarakat.
Leo melihat masih ada celah sebelum UU MK versi DPR itu resmi diputuskan. Ia menyerukan kepada masyarakat, lembaga swadaya masyarakat (LSM), praktisi hukum, akademisi, dan pers supaya secara massif menyoroti produk hukum DPR itu. Jika legislator itu mengabaikannya, ia yakin biaya yang harus ditanggung DPR terlalu besar jika memaksakan UU MK baru itu dilaksanakan.