Senin 20 Jun 2011 19:34 WIB

Negara Intelijen vs Demokratisasi Intelijen

Ilustrasi
Ilustrasi

Transisi demokrasi selalu berat, meletihkan, sekaligus penuh godaan untuk kembali pada masa lalu. Kesabaran demokratisasi diuji pula dalam ranah intelijen negara yang regulasinya ditargetkan Komisi 1 DPR-RI selesai pada akhir Juni 2011. Draft regulasi intelijen kali ini adalah yang keempat, setelah sebelumnya pernah diajukan pada 25 Januari 2002, 5 September 2003, dan 10 Maret 2006. Agaknya kita perlu bersiap kecewa, jika pada akhirnya regulasi ini tertunda (lagi) atau berhasil disahkan tapi dalam semangat yang jauh dari harapan demokratisasi.

Pihak yang bersitegang dalam regulasi ini ialah mereka yang bersandar pada tabiat lama intelijen yang enggan untuk diawasi dengan pihak yang bersemangat membuat regulasi ini dalam parameter, mandat, tugas, dan wewenang kerja yang legal dan akuntabel.

Di tengah ketegangan dan kerumitan situasi tersebut, hemat penulis, regulasi tersebut akan terhindar dari cita-cita demokrasi jika tidak memperhatikan dua hal mendasar. Pertama, pembaharuan persepsi ancaman dari sekedar paradigma parsial keamanan tradisional menuju paradigma holistik keamanan non-tradisional. Kedua, perbedaan mendasar antara tata kelola “demokratisasi intelijen” dengan “negara intelijen”. Keduanya jika tidak dicermati oleh anggota parlemen, akan membalikkan situasi dan lebih berbahaya lagi jika regulasi ini akhirnya mengabsahkan kewenangan yang jauh dari aspirasi kebebasan masyarakat sipil.

Persepsi Ancaman

Hal paling fundamental dari seluruh kontestasi paradigma yang ada ialah bagaimaan regulasi ini mempersepsi ancaman yang dimaksud oleh aktor intelijen negara. Kekhawatiran penyalahgunaan kewenangan intelijen oleh kekuasaan sebenarnya sangat beralasan jika dalam regulasi tidak dicantumkan secara definitif posisi apa saja yang dipersepsi sebagai ancaman gangguan di dalam negeri, regional dan global.

Dalam situasi dunia yang telah berkembang, gangguan dalam negeri tidak lagi sekedar tema keamanan tradisional seperti daerah rawan konflik horizontal, melainkan juga harus memasukkan isu keamanan non-tradisional seperti pengamanan sumber energi, masalah distribusi dan transportasi pangan, pengangguran dan kemiskinan.

Begitupun di tingkat regional, potensi ketegangan dengan negara tetangga dapat ditelusur dari hubungan bilateral atau multilateralnya, sindikat illegal fishing dan illegal logging , narkotika baru kemudian jaringan terorisme. Penyederhanaan persepsi ancaman dalam paradigma keamanan konvensional hanya akan membawa ketidaktepatan kebijakan dan melahirkan tindakan represif militeristik. Baru kemudian, persepsi ancaman di tingkat global seperti neo liberalisme dan lain sebagainya.

    

Kontestasi Paradigma

Perbedaan kontras paradigma antara “negara intelijen” dengan “demokratisasi intelijen” yang juga perlu diperhatikan ialah. Pertama, posisi BIN dalam komunitas intelijen nasional sebenarnya secara teoritik hanya berfungsi sebagai “intelijen nasional”. Maka keinginan untuk menjalankan fungsi intelijen nasional sekaligus menjadi representasi dari lembaga “intelijen negara” itu sendiri merupakan salah satu upaya BIN untuk menjadi superordinat dari aktor intelijen lainnya, seperti intelijen strategis, intelijen tempur, intelijen institusional (kepolisian, imigrasi, bea cukai, kejaksaan), dan intelijen lembaga penunjang lainnya (LSN, SAR, BNN, BATAN, LAPAN, dan LEN).

Kedua, peran koordinator intelijen sebenarnya di era Presiden Abdurrahman Wahid, telah dialihkan sejak tahun 2001 ketika Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN) berubah nama menjadi Badan Intelijen Negara (BIN). Perubahan nama ini juga diikuti dengan perubahan arah pertanggung-jawaban BIN kepada Presiden dan DPR-RI. Sayangnya kelanjutan demokratisasi intelijen mengalami kemandegan karena ketiadaan regulasi intelijen yang menjadi payung hukum. Pada praktiknya, BIN meskipun tidak lagi menyandang nomenklatur “Koordinasi” tetap menjalankan mekanisme koordinasi institusional mulai dari tingkat pusat hingga Kominda (Komunitas Intelijen Daerah). Ide tentang Lembaga Komunitas Intelijen Negara (LKIN) yang mengoordinir seluruh aktor intelijen negara adalah ide kepemimpinan sipil dengan fungsi sebagai analis pratama yang mendelegasi aktivitas pengumpulan informasinya kepada aktor intelijen dibawahnya.

Ketiga, apapun kewenangannya intelijen negara tidak boleh menabrak sistem peradilan pidana (criminal justice system) yang merupakan tulang punggung negara hukum. Kewenangan penindakan berupa penangkapan dan/atau penyadapan yang tidak melalui perizinan pengadilan merupakan salah satu upaya pencideraan status negara hukum kita.

Keempat, demokratisasi intelijen tentunya juga memberikan syarat pengawasan konsentrik, baik oleh eksekutif, parlemen, maupun masyarakat sipil. Itulah yang menjadi  praktik negara-negara demokrasi, seperti di Amerika Serikat dan Inggris. Dimana terdapat anggota parlemen yang disumpah serta memiliki kewajiban mengawasi praktik aktor intelijen, mulai dari proses membuat produk intelijen juga termasuk pengumpulan, analisa, kontra-intelijen, operasi tertutup, sehingga potensi penyalahgunaan kekuasaan dapat ditutup, apalagi terhadap informasi yang masa retensinya telah habis dan aman untuk disampaikan.

Pengawasan Konsentrik

Mekanisme pengawasan yang lemah dari parlemen yang tidak dipayungi regulasi selama ini membuat presiden berkuasa penuh atas lembaga intelijen tanpa pengawasan dan berpotensi menggunakannya untuk kepentingan kekuasaannya. Logika demokrasi selalu menghendaki situasi yang saling mengawasi, serta berbagi peran kerja yang terdiferensiasi antara satu aktor dengan aktor lainnya untuk menghindari terwujudnya akumulasi kekuasaan pada satu lembaga.

Regulasi intelijen yang demokratik adalah jembatan menuju tata kelola ideal profesionalisme intelijen. Tentu saja proses sekarang ini tantangan bagi kaum demokratis yang menghendaki tata negara berketundukan hukum. Elemen masyarakat sipil juga perlu tetap menopang stamina idealisme parlemen yang kerap tersengal-sengal.

 

Arya Sandhiyudha AS

Kabid Riset GLOCAL Institute

Master bidang Strategic Studies dan penerima Certificate in Terrorism Studies dari S.Rajaratnam School of International Studies, NTU Singapura.

___________________________

Kirimkan artikel Anda ke: [email protected]. Artikel disertai identitas jelas penulis. Redaksi berhak tidak menayangkan kiriman tulisan berdasarkan penilaian redaksi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement