REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Komisi Yudisial (KY) mengkritik Ketua Mahkamah Agung (MA), Harifin A Tumpa, yang menyatakan hakim sulit diperiksa lembaga lain. Alasan Harifin, pemanggilan hakim tak bisa dilakukan karena belum ada hukum acara kode etik.
Pernyataan Harifin tersebut merespons rencana pemanggilan KY terhadap hakim Herry Swantoro yang menyidangkan kasus Antasari Azhar. Juru bicara KY, Asep Rahmat Fajar, menyatakan pihaknya mensinyalir terdapat rekayasa selama persidangan hingga jatuhnya vonis terhadap mantan ketua KPK tersebut.
Karena itu, sesuai laporan dari masyarakat serta untuk menjalankan tugas dan fungsinya, KY berhak memanggil Herry Swantoro. Asep mengaku heran jika pemanggilan hakim terbentur hukum acara kode etik.
Pasalnya, KY dan MA memiliki dua perjanjian dalam bentuk Surat Keputusan Bersama (SKB) yang mengatur tata cara pemeriksaan pelanggaran kode etik. Asep menyebut, satu SKB tentang Kode Etik yang isinya poin-poin materiil kode etik.
Dan, satunya lagi tentang Pembentukan dan Hukum Acara Majelis Kehormatan Hakim yang isinya aturan formil bila ada rekomendasi sanksi dari KY atau MA. “Dua SKB itu ditanda tangani masing-masing lembaga,” ujar Asep, Ahad (19/6).
Dengan dua SKB itu, kata Asep, tak ada masalah bagi KY untuk memanggil setiap hakim yang diindikasikan melakukan pelanggaran. Yang jadi masalah, jika penafsiran SKB antara KY dan MA berbeda. Di situlah tantangan bagi dua lembaga tersebut, yang dituntut kejeliannya dalam melakukan penafsiran tepat atas poin-poin kode etik.
Sebelumnya, Harifin A Tumpa keberatan jika hakim yang mengadili Antasari Azhar diperiksa KY. Harifin menyatakan, pemanggilan oleh KY tak memiliki dasar hukum acara. Sehingga pemanggilan hakim harus berdasar aturan dan norma berlaku. “Tidak bisa seenak perutnya,” ketus Harifin.