REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menilai penyidik kurang berani menggunakan pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang bagi pelaku pasif.
"Penyidik masih belum berani menggunakan pasal 5 UU Tindak Pidana Pencucian Uang," kata Direktur Pengawasan Kepatuhan PPATK Subiantoro, saat acara workshop "UU Pencucian Uang" di Jakarta, Rabu.
Dia mencontohkan kasus penggelapan pajak Gayus Tambunan dan Bahasyim Assifie yang melibatkan rekening istri serta anaknya menempatkan hasil dugaan kejahatannya. "Seharusnya penyidik berani menerapkan pasal 5 ini pada pelaku pasif ini," kata mantan pegawai Bank Indonesia ini.
Pasal 5 UU Pencucian uang ini berbunyi: (1) "Setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran atau menggunakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana penjara paling lama 5 tahun dan didenda paling banyak Rp 1 miliar."
Ayat (2) menyatakan "Ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak berlaku bagi pihak pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini".
Dia mengungkapkan bahwa misi dari pasal ini adalah agar dalam satu keluarga saling mengingatkan agar tidak melakukan tindak pidana pencucian uang karena dapat menyeret anggota keluarganya.
Sementara Kepala PPATK Yunus Husein mengatakan pasal ini sudah digunakan terhadap pelaku pencurian di daerah Jember, Jawa Timur. "Seorang guru dari Jember rekeningnya digunakan keponakannya yang melakukan pencurian di daerah Cinere, Depok, dan saat ini dia sudah dihukum," kata Yunus.
Menanggapi ini, Subiantoro berharap penyidik menerapkan pasal 5 kepada istri Gayus dan anak Bahasyim Assifie yang rekeningnya dipakai menyimpan dana hasil dugaan penggelapan pajak.
Dia mengungkapkan bahwa penyidik saat ini lebih menerapkan pasal 3 dan pasal 5 UU Pencucian Uang kepada pelaku aktif.