REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Tiga lembaga internasional menyebutkan bahwa ada sekitar 500 juta ton karbondioksida yang telah lepas ke udara dari hutan bakau di seluruh dunia dalam 100 tahun terakhir. Hal tersebut terungkap dalam penelitian dari Bank Dunia, IUCN (International Union for the Conservation of Nature) dan ESA PWA.
Direktur climate Change Services ESA PWA, Stephen Crooks dalam Workshop tentang Lahan Basah di Denpasar, Senin mengatakan penelitian tersebut menunjukkan cadangan karbon dalam hutan bakau lebih besar empat hingga lima kali lipat dibandingkan cadangan karbon pada hutan tropis.
"Untuk pertama kalinya kami mengetahui emisi gas rumah kaca secara signifikan dan secara global dari pengeringan dan degradasi lahan basah di wilayah pesisir dan bisa terjadi secara terus menerus dapat mengeluarkan karbon selama beberapa dekade," kata Stephen.
Penelitian itu menunjukkan 20 persen luas bakau di seluruh dunia telah rusak atau seluas 35.000 kilometer persegi dalam 25 tahun terakhir dan hal tersebut telah mengeluarkan emisi karbon yang terakumulasi selama ribuan tahun.
Oleh karena itu, tiga lembaga tersebut mengimbau negara pemilik lahan basah seperti bakau untuk melindungi kawasan tersebut dan meningkatkan restorasinya.
Sedangkan Lembaga Pusat Riset Kehutanan Internasional (CIFOR) menyarankan kepada Indonesia untuk lebih memprioritaskan hutan bakau untuk dikonservasi sebagai salah satu cara untuk mengatasi perubahan iklim. "Pembicaraan tentang peran penting hutan lahan basah tropis di perubahan iklim dapat diperlebar untuk mengikutsertakan bakau," kata Peneliti Senior dari CIFOR, Daniel Murdiyarso dalam seminar tentang lahan basah di Denpasar, Bali, Senin.
Daniel menjelaskan hasil penelitian dari CIFOR dan US Forest Service memperlihatkan hutan bakau ternyata menyimpan jauh lebih banyak karbondioksida dibandingkan hutan tropis.
Hasil penelitian tersebut telah dipublikasikan dalam makalah berjudul "Carbon-rich tropical mangroves and climate change mitigation in a time of rising seas (Bakau Tropis yang kaya karbon dan mitigasi perubahan iklim di tengah naiknya permukaan laut) dalam terbitan terbaru "Nature GeoScience".
"Bakau memiliki banyak sifat yang sama dengan lahan gambut, seperti penyimpanan karbon di bawah permukaan yang sangat tinggi dan menghadapi deforestasi dan degradasi besar-besaran. Bakau semestinya mendapatkan tingkat perlindungan sama seperti gambut," katanya.
Dia mengatakan Indonesia perlu memperhatikan kepada hutan bakau sebesar perhatian kepada hutan gambut dan mengembangkan kebijakan-kebijakan yang lebih baik lagi untuk melindungi hutan bakau. "Keterlibatan pemerintah lokal dan masyarakat setempat merupakan kunci suksesnya kebijakan," katanya.
CIFOR menyarankan pemerintah untuk membuat kebijakan yang menerapkan REDD plus yang memprioritaskan ekosistem yang kaya karbon seperti gambut dan bakau.
Kebijakan pemerintah tersebut akan memberi keuntungan tambahan seperti keanekaragaman hayati dan memiliki sisi adaptasi selain mitigasi perubahan iklim. "Pemahaman yang baik dari pemerintah daerah dengan perda yang harmonis dan pro lingkungan , tata kelola yang baik, dan tata ruang yang jelas dan dipatuhi semua pihak," katanya.
Dalam penelitian CIFOR-US Forest Service, memperlihatkan hutan bakau mempunyai empat kali lebih padat menyimpan karbondioksida dibandingkan hutan tropis di daratan tinggi. Sedangkan pembukaan dan kerusakan ekosistem bakau diperkirakan 10 peren dari emisi deforestaswi global, meski luas hutan mangrove hanya 0,7 persen dari total luas hutan tropis.
Data satelit terakhir menunjukkan bahwa Indonesia mempunyai 3,1 juta hektar hutan bakau yang merupakan seperempat dari total luas hutan bakau dunia. Sedangkan Kalimantan telah kehilangan sekitar 8 persen luas hutan bakau pada kurun 2000 - 2005.