REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Menteri Pertahanan, Purnomo Yusgiantoro menegaskan tidak ada pakta militer di kawasan ASEAN yang secara khusus terkait dengan kerjasama bersenjata untuk pertahanan wilayah. "Kita tidak mengenal pakta militer. Kerja sama kita lakukan sejauh kerjasama itu tidak bersifat kohesif untuk kerjasama pertahanan militer," kata Purnomo di komplek Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (31/3), terkait pertemuan informal sejumlah panglima angkatan bersenjata negara-negara anggota ASEAN.
Purnomo menegaskan, pertemuan sejumlah petinggi militer ASEAN di Istana Merdeka itu bersifat informal. Pertemuan itu sekaligus untuk menghilangkan pandangan bahwa ASEAN akan menuju komunitas yang dilengkapi dengan pakta militer.
"Namanya adalah pertemuan panglima-panglima angkatan bersenjata informal untuk mencegah persepsi bahwa ini pertemuan formal seperti pertemuan menteri-menteri pertahanan dan pertemuan panglima-panglima di Eropa dalam kaitannya dengan NATO (Pakta Pertahanan Atlantik Utara-red)," kata Purnomo.
Menurut dia, Indonesia menolak tegas untuk tergabung dalam pakta pertahanan tertentu. Sikap itu didasarkan pada UUD 1945 yang menegaskan bahwa Indonesia menerapkan kebijakan luar negeri yang bebas dan aktif.
Namun demikian, Indonesia tetap menjalin kerja sama militer selain perang dengan sejumlah negara, termasuk di kawasan ASEAN. Kerja sama selain perang itu bisa dalam bentuk penanggulangan bencana, penanggulangan teror, pengamanan wilayah maritim, dan misi perdamaian.
Sikap Indonesia itu juga ditunjukkan dalam penyelesaian konflik di Libya. Indonesia bersedia terlibat dalam
penyelesaian masalah Libya sebagai anggota pasukan perdamaian. "Indonesia siap untuk mengirim pasukan misi perdamaian di bawah bendera PBB, bukan berada di bawah bendera NATO," katanya.
Di kawasan Asia, Indonesia juga berperan dalam penyelesaian konflik sengketa Laut China Selatan. Purnomo menegaskan, Indonesia bukanlah negara "claimant" atau pihak penuntut dan bersengketa dalam sengketa Laut China Selatan.
Negara-negara di Asia Tenggara yang menjadi pihak terkait dalam kasus itu adalah Malaysia, Brunei Darussalam, dan Filipina. Namun demikian, Indonesia bersedia ambil bagian dalam polemik Laut China Selatan, khususnya untuk memikirkan solusi yang tepat untuk tujuan kawasan yang damai dan stabil.