REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Usulan pemerintah untuk memperbaharui wewenang intelijen agar dapat menangkap dikritisi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras). Koordinator Kontras, Harris Azhar, menilai usulan tersebut justru mengkhianati bantuan dari negara-negara demokrasi di luar negeri.
Harris menjelaskan usulan agar intelijen dapat melakukan penangkapan membahayakan kehidupan demokrasi. "Di negara-negara maju, intelijen tidak dapat menangkap," ungkap Harris saat dihubungi, Senin (28/3).
Harris melanjutkan ada indikasi bahwa pemerintah mengusulkan hal tersebut untuk penanganan terorisme. Harris menilai pemerintah sedang 'mencari muka' di mata internasional bahwa penanganan tindak pidana terorisme mendapat perhatian yang baik. Oleh karenanya, pemerintah mengusulkan pasal tersebut demi mendapat bantuan asing. "Cuma ditafsirkan salah oleh pemerintah," ungkapnya.
Pasalnya, menurut Harris, meski negara-negara barat berkepentingan memerangi terorisme, tapi negara-negara tersebut sangat menghormati Hak Asasi Manusia. "Kalau konsepsi itu dipakai. Bantuan negara-negara itu diterjemahkan dengan RUU intelijen, maka pemerintah mengkhianati bantuan-bantuan itu," ujar Harris.
Menurut Harris, wewenang intelijen seharusnya tetap mengumpulkan data dan informasi. Jika dapat menangkap, ungkapnya, maka akan mengurangi hak orang yang ditangkap. Menurutnya, penangkapan oleh intelijen tidak akan berlangsung dengan transparan. Sehingga, ujarnya, penangkapan itu akan sulit diawasi dan dapat menyulitkan tersangka melakukan pembelaan.
Usulan tersebut tertuang dalam Daftar Inventaris Masalah (DIM) yang ada di DPR-RI. Wakil Ketua Komisi I DPR Tb Hasanuddin mengatakan dari 247 DIM, Pemerintah menanggapi dengan menyetujui 58 DIM. Sementara, 39 DIM mengalami perubahan redaksional. Lalu 30 DIM berubah substansi. Di luar itu, Pemerintah memasukkan 50 DIM usulan substansi baru dan 70 DIM dipertimbangkan dihapus.
Kewenangan penangkapan oleh intelijen, masuk dalam salah satu DM usulan substansi baru yang diajukan Pemerintah. Yaitu pada DIM nomor 83 sampai dengan 90, tepatnya dalam pembahasan pasal 14 dan 15 RUU Intelijen. Pasal 14 mengatur masalah kewenangan intelijen, sementara pasal 15 secara khusus menambahkan kewenangan penangkapan untuk intelijen.