REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Pengamat politik dari Charta Politika Yunarto Wijaya menilai, Partai Demokrat keliru menerapkan tata cara mengelola koalisi untuk mendukung pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. "Kekeliruan itu terutama pada kontrak politik antara Presiden dengan partai-partai politik pendukungnya," kata Yunarto Wijaya pada diskusi "Penguatan Koalisi Mendukung Sistem Presidensial" yang diselenggarakan Fraksi Partai Demokrat DPR RI, di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin.
Yunarto menegaskan, pada sistem presidensiil, kontrak politik antara presiden hanya dengan menteri-menteri di kabinet, sedangkan kontrak politik di parlemen antara partai-partai politik pendukung pemerintah. "Pada pemilu presiden 2009, Partai Demokrat yang mengusung pasangan SBY-Boediono yang dudukung partai-partai politik lainnya," katanya.
Karena itu, kata Yunarto, pada koalisi partai politik di parlemen yakni antara Partai Demokrat dengan partai-partai politik pendukung pemerintah. Dengan terpisahnya koalisi di eksekutif dan lagislatif, kata dia, maka wacana penataan ulang koalisi dan "reshuffle" menteri di kabinet tidak menjadi rancu.
Menurut dia, isu "reshuffle" menteri kabinet adalah wilayah kewenangan presiden yang berbasis kinerja. Sedangkan, wilayah penataan koalisi di parlemen adalah kewenangan koordinator koalisi yakni Partai Demokrat.
Pada kontrak politik antara partai-partai politik di parlemen, menurut dia, bisa dibuat klausul anggota koalisi yang memiliki sikap berseberangan dengan kesepakatan, akan dikeluarkan dari koalisi. Dengan memisahkan koalisi di eksekutif dan legislatif, menurut Yunarto, maka landasannya menjadi lebih jelas dan kesepakatannya bisa lebih tegas.