REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Masyarakat diminta tidak perlu khawatir isu kontaninasi debu radioaktif pembangkit listrik tenaga nuklir di Fukushima Jepang menjalar ke Indonesia. Pasalnya jarak kedua negara yang membentang ribuan kilometer tidak memungkinkan itu terjadi.
"Evakuasi terhadap warga hingga sejauh radius 20 km dari titik PLTN Fukushima itu sudah tepat. Ini untuk menjamin mereka tidak terpapar dampak," kata Deputi Bidang Pengembangan Teknologi Daur Bahan Nuklir dan Rekayasa Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), Dr Djarot S Wisnubroto di Jakarta, Senin (14/3).
Kejadian di reaktor Fukushima, di mana kadar radioaktif meningkat di atas normal, menurut dia, disebabkan sistem pendingin yang tidak berfungsi karena "backup" diesel yang mati. Namun tidak ditemukan pelelehan ataupun kebocoran radioaktif, berhubung bahan bakar tetap utuh.
Ia juga mengatakan, belum ada laporan adanya warga yang menjadi korban tewas dari kejadian peningkatan radiasi di PLTN tersebut. Hanya ada pernyataan bahwa sedikitnya 19 orang ditemukan telah terkena paparan radiasi dan sedang menjalani proses dekontaminasi.
Sedangkan satu orang yang dilaporkan terkena paparan radiasi paling tinggi di atas 100 mSv (mikro sievert) sudah dibawa ke rumah sakit untuk menjalani pemeriksaan. Masyarakat umum, sesuai peraturan internasional, memang tidak boleh terpapar radiasi melebihi rata-rata 1 mSv per tahun, sementara itu, pekerja di kawasan radiasi ditetapkan tidak boleh menerima lebih dari 50mSv per tahun.
Data Batan menyebutkan dosis radiasi sangat tinggi, sebesar 100 ribu mSv akan membunuh seketika. Sedangkan dosis 10 ribu mSv kemungkinan juga akan membunuh tetapi setelah beberapa hari atau minggu. Sedangkan dosis 1.000 mSv akan menyebabkan gejala sementara, tetapi tak ada resiko langsung terhadap kesehatan.
Jepang, menurut Djarot, memiliki sistem tanggap darurat yang sangat bagus dengan ambang batas radiasi yang ketat. Sehingga radiasi sekecil apapun ditangani dengan sangat baik.
"Apalagi peraturan internasional yang melingkupi pemanfaatan PLTN sangat banyak, ketat dan menuntut transparansi, sehingga tak boleh ada yang ditutup-tutupi tentang radiasi sekecil apapun kepada negara-negara tetangganya dan dunia," katanya.
Ia juga merasa optimistis bahwa rencana PLTN yang akan dibangun di Indonesia tak akan terhambat dengan kejadian gempa dan tsunami di Jepang tersebut.
"Reaktor Fukushima itu sudah 40 tahun usianya, dibangun 1971 dan hampir ditutup, selain itu teknologinya 'boiling water reactor' sudah lama. Sementara yang akan kita bangun di Bangka itu menggunakan teknologi dan tipe berbeda. Apalagi letak lokasinya di Babel itu jauh dari potensi gempa dan tsunami," katanya.