REPUBLIKA.CO.ID-Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengungkapkan kegelisahannya melihat perkembangan kepemimpinan daerah. Pak Menteri menyebut 85 persen kepala daerah bercerai dengan wakilnya dalam pemilukada berikutnya. Ini karena sama-sama ingin menjadi orang nomor satu di daerahnya.
Bagaimana dampak persaingan, kompetisi, dan konflik antara kepala daerah dan wakilnya terhadap jalannya roda pemerintahan di daerah? Berikut wawancara dengan Direktur Eksekutif Apeksi (Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia), Sarimun Hadisaputra:
Mendagri bilang mayoritas kepala daerah dan wakilnya saling berebut pengaruh?
Sebetulnya kalau kita lihat angka pastinya, kita tidak ada angka pastinya. Tapi kalau dari kami belum begitu merasakan. Malah kalau kami lihat, contohnya Walikota Solo dan Wakilnya, itu sampai dua periode mereka bertahan. Kemudian walikota lain juga rata-rata wakilnya itu dikaderkan menjadi walikota. Nah, mungkin juga ada kompetisi tapi prosentasenya tidak sampai 85 presen.
Menteri Dalam Negeri memiliki data bahwa 85 persen kepala daerah dan wakilnya memilih bercerai pada pemilukada berikutnya karena sama-sama ingin menjadi orang nomor satu di daerahnya?
Kepala daerah tidak hanya walikota saja, tapi ada bupati, dan ada juga gubernur. Mungkin juga ada kompetisi, tapi prosentasenya tidak sampai 85 persen. Tapi, saya tidak tahu untuk kepala daerah kabupaten, karena kabupaten kan ada 400 lebih, kita (kota) kan cuma 98 saja.
Kalau anda melihat, apakah ada kecenderungan bahwa kepala daerah dan wakilnya yang berkompetisi menjadi tidak akur?
Memang ada yang seperti itu terjadi, terutama mereka yang baru satu periode. Kemudian mereka maju, walikota maju, wakilnya juga maju. Kompetisi itu sah-sah saja. Kalau ada ketegangan wajar saja, karena sama-sama maju. Tapi dalam perjalanan, selama mereka menjabat masih normal-normal saja.
Jadi menurut anda kompetisi tidak memengaruhi kinerja?
Kompetisi itu sudah menjelang empat tahun lebih. Bukan dari awal. Kalau sudah empat tahun, satu tahun menjelang pilkada ya mungkin ada, itu sih wajar saja. Karena sama sama maju.
Apakah kompetisi itu ada yang sampai menggangu pemerintahan, mungkin kebijakan antara walikota dan wakilnya bisa berbeda?
Untuk walikota ada pembagian tugas yang jelas. Walikota dan wakil walikota sudah tahu dengan jelas,/kan sudah ada di undang-undang. Mereka kan satu kotak pemimpin, lalu dalam UU nomor 32 (tentang Pemerintahan Daerah) itu dibagi tugasnya dengan jelas. Walikota itu menangani apa saja, wakil walikota apa saja. Sejauh mereka menyadari dan memahami tugasnya, tidak masalah. Mengapa kami melihat itu, kehadiran mereka diasosiasi, tidak ada istilah wakil datang atas dasar inisiatif sendiri, wakil datang karena mewakili walikota.
Kalaupun ada yang berkonflik, bagaimana mencegahnya?
Untuk mengatasi itu, kembali ke aturan main di UU 32. Makanya sebelum pilkada sama-sama calon-calon itu memahami posisi sebagai walikota dan wakil. Baca dulu UU 32, pembagian tugasnya apa. Kalau dipedomanin tidak masalah. Tapi kalau mereka tidak memahai tugas sesuai dengan undang-undang, ya mohon maaf kita bermain di koridor undang-undang. Kalau terjadi seperti itu sudah bersifat pribadi dan objektif sekali, kalau sebagai institusi sudah ada pembagian tugasnya secara jelas.
Undang-undang itu sudah menjaga agar tidak berkonflik. Saran saya, seyogyanya calon walikota dan wakil walikota berdua mendaftar, sebelum menggolkan sebagai kepala daerah, tolong baca dulu UU 32. Agar nanti mereka tahu kalau jadi walikota tugasnya ini, jadi wakil walikota tugasnya ini.
Adakah contoh walikota yang berkompetisi tapi masih tetap bersinergi sampai akhir masa jabatan?
Ada Walikota Pekalongan, beberapa bulan yang lalu ada pemilukada. Dari awal bagus tidak masalah, selama lima tahun. Baru menjelang pemilukada, begitu ada pendaftaran ternyata wakil walikota ada dukungan lain untuk menjadi walikota. Akhirnya terjadi kompetisi, tapi sah-sah saja. Mereka sudah bekerja empat tahun lebih. Yang dikhawatirkan itu kalau dari awal berkonflik, itu kan yang berbahaya. Kalau sudah mendekati pemilukada, pendaftaran mereka mendaftar, baru disitu terjadi kompetasi. Wajar saja.
Kalau kita bicara kenapa bisa terjadi ketegangan, kuncinya pemahanan yang bersangkutan terhadap pembagiaan tugas itu saja. Kalau yang paham dan sadar tidak masalah. Dan ini berlaku tidak hanya walikota saja, semua kepala daerah, gubernur dan bupati juga sama saja. Saran saya sebelum mencalonkan diri, baca dulu UU dan pelajari. Jadi begitu maju dia siap, jadi wakil tugasnya ini, walikota tugasnya ini, cantik cekali kalau seperti itu.
UU 32 sedang dalam proses revisi, saran apa yang bisa anda berikan untuk mengatasi konflik antara kepala daerah dan wakilnya?
Revisi UU 32, pemilukada itu cukup dipilih kepala daerahnya saja. Nanti kepala daerah yang memilih wakilnya. Itu lebih tenang. Kalau dua-dua dicalonkan itu akan bisa terjadi seperti yang ditakutkan oleh kita. Jadi sebaiknya yang dipilih kepala daerahnya, setelah terpilih, sang kepala daerah yang mencalonkan siapa jadi wakilnya. Menurut saya ambilkan dari birokrat, jabatan karir jadi wakil kepala daerah.