REPUBLIKA.CO.ID-Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengungkapkan kegelisahannya melihat perkembangan kepemimpinan daerah. Pak Menteri menyebut 85 persen kepala daerah bercerai dengan wakilnya dalam pemilukada berikutnya. Ini karena sama-sama ingin menjadi orang nomor satu di daerahnya.
Bagaimana dampak persaingan, kompetisi, dan konflik antara kepala daerah dan wakilnya terhadap jalannya roda pemerintahan di daerah? Berikut wawancara dengan Mendagri Gamawan Fauzi:
Ada sekitar 85 persen kepala daerah dan wakilnya yang tak bersama lagi dalam pemilukada berikutnya. Apakah mereka memang berkonflik?
Mereka ini berkompetisilah bukan berkonflik. Jadi, dari 244 daerah yang ikut pemilukada kemarin itu, cuma 15,16 persen kepala daerah dan wakilnya yang mengulang lagi bersama-sama, yang lain berkompetisi. Sekitar 85 atau 84,84 persen itu berkompetisi.
Anda pernah mengatakan bahwa memang ada persaingan antara kepala daerah dan wakilnya sehingga cenderung tidak akur. Sebenarnya apa yang terjadi?
Datanya ya seperti yang saya sampaikan tadi.
Apa sebenarnya yang menyebabkan mereka kemudian bersaing?
Ya karena mungkin bisa saja wakilnya ingin jadi kepala daerah kan.
Sebenarnya, bagaimana bentuk berkompetisinya?
Itu sebenarnya tidak ada larangan, di undang-undang tidak ada larangan. Ini saya bicara itu tadi dalam konteks apakah memang akan satu paket atau tidak.
Satu paket atau tidak seperti apa, bisa dijelaskan?
Selama ini kan satu paket (dalam pemilukada). Makanya perlu kajian, apakah perlu satu paket atau tidak. Karena akibatnya kalau tahun kedua berkompetisi, kan suasana di daerah sedikit banyak terganggu juga. Ada yang pro wagub (wakil gubernur), pro gubernur, pro wakil walikota, pro walikota, terjadilah kompetisi. Mereka akan saling mencari pengaruh.
Tapi bisa juga muncul kekhawatiran, bahwa persaingan ini bisa sampai pada keluarnya kebijakan yang berbeda antara gubernur dan wakilnya?
Bisa terjadi seperti itu. Tapi memang kalau dalam aturan itu tidak boleh, sebenarnya wakil gubernur itu kan tugasnya membantu gubernur, wakil bupati membantu bupati, harusnya seperti itu. Namun dengan macam macam cara bisa mencari pengaruh. Dengan status itu juga bisa kan, sebagai orang kedua di daerah. Nanti toh nggak enak kan kita sering-sering datang ke wagub lalu dikira pro wagub. Masyarakat juga begitu.
Masyarakat yang mana? Apakah unsur PNS di pemda atau masyarakat biasa?
Wakil itu kan juga punya pendukung. Itu suara pendukungnya.
Lalu kalau jajaran PNS-nya seperti apa?
Dari pengalaman saya, nanti jadi tidak enak. Kalau sudah tahun ketiga, itu nggak enak, nanti dituduh pro wagub, pro kepala daerah. Makanya ada yang ketika terpilih kemudian dicopot kepala dinasnya sampai 13 orang, karena dianggap tidak pro atau apa. Ada juga di non-job-kan. Kalau dimutasi oke lah. Ada juga orang pemda yang ditaruh jadi staf kepala desa. Yang seperti ini dalam teori kenegaraan tidak ada, tapi dalam prakteknya banyak.
Kemudian solusinya harus seperti apa?
Makanya kita bikin apakah akan jadi satu paket juga, ataukah terpisah. Kepala daerah saja yang terpilih, nanti wakilnya, kepala daerahnya yang mengajukan. Tapi ini masih dalam kajian. Saya kan tadi menyampaikan, di rapat kerja pimpinan DPRD seluruh Indonesia, di Bandung, dari angka-angka, data-data, praktek-praktek seperti itu. Lalu what next, bagaimana ke depannya, mau apa, kita perlu pikirkan bagaimana pemerintahan efektif di daerah.
Sebenarnya fenomena seperti ini sudah mulai terlihat sejak ada pemilihan langsung atau baru 2010 kemarin itu?
Sebenarnya sudah ada sejak ada pemilihan langsung. Tapi saya yang punya data kemarin itu, jadi saya punya data, saya sampaikan. Jadi 15 persen mengulang lagi bersama-sama, di luar itu ada yang berkompetisi, ada juga wakilnya yang tidak ikut lagi. Kepala daerah memilih yang lain. Atau berkompetisi di antara wakil dan kepala daerahnya.
Kenapa kemudian bisa terjadi kompetisi itu?
Bisa saja ini taktik kan, supaya dia populer dulu. Kalau jadi wakil kan dia mulai populer dulu. Tapi ada juga yang dia ingin sampai wakil saja. Kapasitas saya cuma sampai wakil, makanya itu terus berlanjut, dia mersasa tidak mempu mengalahkan kepala daerah pada putaran selanjutnya, setelah dia hitung-hitung. Tapi ada juga ketika jadi wakil merasa mampu dan lebih populer.
Apakah memang populer itu memegang peranan penting?
Kalau pemilihan langsung itu popularitas menjadi penting, dikenal. Bagaimana rakyat memilih orang yang tidak dikenal, makanya popularitas sangat penting. Bukan hanya kapasitas saja. Kapasitas iya juga, namun popularitas juga menentukan. Banyak yang punya kapasitas tapi belum tentu punya popularitas.