REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG - Anggota DPD RI asal Nusa Tenggara Timur (NTT), Abraham Paul Liyanto meminta pemerintah untuk jangan mengabaikan ancaman "Yayasan New7Wonders" untuk menangguhkan keikutsertaan komodo dalam pemilihan tujuh keajaiban baru dunia oleh penyelenggara.
"Pemerintah tidak boleh mengabaikan begitu saja semua usaha yang sudah dibangun selama ini uyang sudah melibatkan masyarakat banyak untuk mengangkat nama komodo yang memang sudah diakui dunia," kata Paul Liyanto, ketika dihubungi dari Kupang, Sabtu (5/2).
Ia mengatakan hal itu menanggapi komentar Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar) Jero Wacik sehubungan dengan ancaman dianulirnya komodo sebagai salah satu dari 28 finalis pemilihan tujuh keajaiban baru dunia. Ancaman dikeluarkan lantaran Indonesia tak bersedia menjadi tuan rumah penentuan akhir sehubungan tingginya biaya yang dibebankan kepada Indonesia sebagai tuan rumah.
Anggota DPD RI yang membidangi masalah lingkungan hidup itu meminta agar pemerintah kembali memikirkan untung-ruginya bagi pengembangan pariwisata Indonesia bila tetap membiarkan komodo dicoret dari keikutsertaannya pada ajang pemilihan tersebut.
Menurut dia, kalau Menbudpar beralasan terlalu tinggi biaya yang harus ditanggung dan langsung menolak, itu adalah hal yang terlalu berlebihan. Paul mengatakan, sebagai Menbudpar, tentu mengetahui hitungan strategi untung ruginya.
"Misalnya kalau masuk tujuh besar apa dampaknya untuk pariwisata Indonesia dan khususnya NTT," katanya. "Toh beliau sendiri sudah bilang, kunjungan wisata sudah naik 400 persen," imbuhnya.
Mestinya, kata Paul, Menbudpar harus berani bernegosiasi dulu. "Tidak perlu harus mengeluarkan uang tunai hingga mencapai Rp400 miliar itu, tetapi ada hitungan-hitungan entrepreneurship (kewiraswastaan) lainnya," katanya.
Ia mengatakan, Menbudpar bisa saja menggalang sponsor baik perhotelan, maskapai penerbangan, biro-biro perjalanan, dan lainnya untuk memenuhi permintaan penyelenggara. "Jadi tidak harus berpikir dengan dana yang besar dari pemerintah. Sebenarnya mudah saja, sebagai seorang menteri kok takut amat begitu?" kata Paul.
Paul juga mempertanyakan, mengapa saat ini baru mempersoalkan dana dan status lembaga penyelenggara tersebut? Waktu awal ketika mendaftar mengapa tidak mencari tahu kejelasannya. Ini jelas pemerintah kecolongan karena sebelumnya berani mengeluarkan uang untuk mendaftar atas nama negara.
"Kalau sekarang baru meragukan keabsahan lembaga tersebut, ini namanya pemborosan uang negara dan sangat memalukan," katanya. Ia meminta agar Menbudpar tidak setengah-setengah dalam memperjuangkan pariwisata Indonesia.
"Saya sarankan agar Pemerintah Provinsi NTT bersama seluruh komponen masayarakat NTT dan LSM terutama yang bergerak di bidang pariwisata harus cepat mengambil tindakan untuk menyelamatkan perjuangan ini. Bila perlu buat gerakan pengumpulan koin untuk membantu Menbudpar," tegas Paul.