REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Terdakwa perkara tindak pidana korupsi dan pencucian uang, Bahasyim Assifie, mengaku sangat memahami alasan mengapa tim Jaksa Penuntut Umum menunda sidang tuntutan hingga tiga kali. Menurutnya, penuntut umum ragu-ragu dalam menerapkan tuntutan kepada dirinya yang tidak bisa dibuktikan.
"Saya dapat memahami penundaan tersebut karena ada keraguan. Dalam hati kecilnya, saya percaya penuntut umum ingin saya bebas,"ungkap Bahasyim saat sidang dengan agenda pembacaan pledoi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (24/1).
Meski demikian, Bahasyim menyayangkan sikap penuntut umum yang tidak berhasil memberikan tuntutan bebas dan malah memberikan dia tuntutan lima belas tahun penjara. Menurut Bahasyim, sikap JPU karena tekanan opini publik yang sangat kuat.
Seperti diberitakan sebelumnya, Jaksa Muda Pengawasan, Marwan Effendy, menyatakan bahwa Jaksa Penuntut Umum perkara Bahasyim tidak profesional karena telah menunda pembacaan tuntutan hingga tiga kali. Menurut Marwan, ia tengah menyelidiki apakah terdapat unsur pidana dalam penundaan tersebut.
Marwan sempat menyatakan bahwa jaksa mengaku telah menemui keluarga Bahasyim dalam proses sidang. Menurutnya, ia akan menindaklanjuti apa motif pertemuan tersebut. Pasalnya, Peraturan Jaksa Agung melarang jaksa berhubungan dengan pihak yang sedang berperkara.
Namun saat dihubungi Republika pada Senin (24/1) melalui pesan singkat, Marwan menjelaskan pihaknya masih mempelajari apakah ada indikasi pidana atau tidak."Masih dipelajari indikasi pidananya ada atau tidak," ungkapnya.
Sementara itu, Bahasyim kembali menyanggah dugaan tindak pidana korupsi dan pencucian uang yang didakwa jaksa. Menurut Bahasyim, Kartini Mulyadi, orang yang diduga diperas oleh Bahasyim, tidak mempunyai kaitan apa pun dengan dirinya. Bahasyim beralasan Kantor Kartini berada di Jl. Rasuna Said, Tebet, Jakarta Selatan tidak berada di wilayah hukumnya yang ketika itu menjabat Kepala Kantor Pengawasan Pajak Jakarta Barat.
Kartini Mulyadi adalah salah seorang wajib pajak yang menyetorkan uang senilai Rp 1 Miliar kepada mantan Kepala Kantor Pengawasan Pajak Jakarta VII tersebut. Dalam surat dakwaannya, jaksa sempat mengatakan bahwa Kartini terpaksa memberikan uang kepada Bahasyim karena takut perusahaannya diganggu oleh pejabat ditjen pajak tersebut.
Sedangkan untuk tuduhan tindak pidana pencucian uang, Bahasyim menjelaskan uang senilai merupakan hasil jerih payah dirinya untuk mengumpulkan uang sejak sebelum 2002 lalu. "Uang tersebut merupakan hasil jual beli tanah, valas, penyertaan modal," ungkapnya.
Sementara, Jaksa Penuntut Umum dalam tuntutannya menuduh Bahasyim melakukan pencucian uang dengan cara pemindahbukuan ke tujuh rekening dalam jumlah tidak wajar secara terus-menerus. Namun, hal itu terendus PPATK. Selama bekerja di Dirjen Pajak, Bahasyim memiliki kekayaan mencapai Rp 60 miliar. Ditambah lagi 600 ribu uang asing dalam bentuk dolar Amerika.