Senin 24 Jan 2011 16:22 WIB

Setara Institute: Kebebasan Beragama Belum Dijamin oleh Negara

Rep: Agung Sasongko/ Red: Ajeng Ritzki Pitakasari
Potret toleransi beragama di Indonesia
Foto: Edwin/Republika
Potret toleransi beragama di Indonesia

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Negara belum menjamin hak warga berupa kebebasan beragama, demikian kesimpulan umum hasil riset yang digagas Setara Institute pada 2010. Dalam riset disebutkan, sepanjang tahun 2010 telah terjadi 216 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan yang mengandung 286 tindakan yang menyebar di 20 propinsi.

Adapun lima provinsi yang dinilai Setara tergolong memiliki pelanggaran paling tinggi yakni Jawa Barat (91 kasu), Jawa Timur (28 kasus), Jakarta (16 kasus), Sumatera Utara (15 kasus) dan Jawa Tengah (10 kasus).

Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos  memaparkan dari 286 bentuk pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan terdapat 103 tindakan negara yang melibatkan para penyelenggara negara sebagai aktor. Dari 103 tindakan tersebut, kata Bobar, 79 tindakan merupakan tindakan aktif (by commission) dan 24 merupakan tindakan pembenaran (by omission).

 "Yang termasuk dalam tindakan aktif adalah pernyataan-pernyataan pejabat publik yang bersifat provokatif dan menggundang terjadinya kekerasan (condoning)," ujarnya kepda para wartawan di Jakarta, Senin (24/1).

Adapun institusi yang paling banyak melakukan pelanggaran adalah Kepolisian (56 tindakan), Bupati/Walikota (19 tindakan), Camat (17 tindakan), dan Satpol PP (13 tindakan).

"Tingginya keterlibatan kepolisian dalam pelanggaran kebebasan dan berkeyakinan disebabkan karena kegagalan lembaga memberikan perlindungan kepada warga negara yang diganggu kebebasannya. Tak hanya itu, polisi juga melakukan pembiaran terhadap warga yang hendak melakukan tindak lanjut secara hukum kelompok-kelompok yang melakukan kekerasan,"papar Bonar.

Dia menjelaskan, secara makro kondisi kebebasan beragama dan bekeyakinan di Indonesia tidak mengalami kemajuan akibat masih terus dipeliharanya berbagai peraturan perundang-undangan yang diskriminatif seperti UU No.1/PNPS/1965, Peraturan Bersama Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan peraturan diskriminatif lainnya.

Sementara itu, Ketua Setara Intitute, Hendardi menyarankan agar DPR RI memprakarasi pembentukan UU jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan yang mengadopsi prinsip-prinsip HAM secara holistik. "DPR RI perlu memberikan perhatian dan menjalankan pengawasan serius terhadap implementasi hak konsititusional warga untuk bebas beragama berkeyakinan.

Salah satu saran yang ia sampaikan adalah membentuk kauskus parlemen untuk kebebasan beragama dan berkeyakinan dan menyususn agenda pengawasan dan legislasi yang kondusif bagi jaminan kebebaasan beragama dan berkeyakinan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement