REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN--Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menilai penanganan bencana letusan Gunung Merapi belum terkoordinasi dengan baik terutama berkaitan dengan hak-hak para pengungsi.
"Kami terjun ke lapangan bukan mencari-cari kesalahan, tetapi agar penanganan bencana bisa berjalan sesuai dengan tujuan," kata Anggota Komnas HAM, Prof Dr Abdul Munir Mulkan, di di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Selasa (28/12).
Menurut dia, dalam survei lapangan tersebut pihaknya menemukan beberapa hal yang perlu dibicarakan bersama dengan seluruh pemangku kebijakan. "Seperti permasalahan koordinasi para pejabat antar daerah, karena Merapi ini meliputi Kabupaten Sleman, Magelang, Boyolali dan Klaten," katanya.
Ia mengatakan, selain koordinasi antar pemegang kebijakan yang masih kurang, data per nama dan berdasar alamat masyarakat yang terkena dampak erupsi Gunung Merapi juga belum akurat. "Data yang diperoleh, lebih merupakan data lama. Ini sebenarnya sangat sensitif, namun perlu dibicarakan bersama karena setelah kami cek silang di lapangan ternyata data nama dan alamat tidak akurat," katanya.
Ia mengatakan, selain itu animo masyarakat Indonesia yang ingin membantu ternyata juga cukup tinggi yang ditunjukkan dengan banyaknya posko bantuan dari berbagai media yang terus mengalir. "Jika bantuan ini tidak dikoordinasi, maka bisa terjadi penyelewengan," katanya.
Munir mengatakan, pemerintah daerah perlu memikirkan secara serius mengenai kebijakan pembangunan pascabencana. "Relokasi warga yang berada dalam zona berbahaya menjadi kewenangan pemerintah daerah secara penuh. Instansi terkait harus menentukan zona berbahaya dan kemudian Pemda harus merelokasi warga," katanya.
Ia mengatakan, relokasi itu perlu agar tidak menimbulkan bahaya yang lebih besar lagi pascaerupsi sebab saat ini telah terbentuk mulut atau lubang Merapi yang mengarah ke selatan, yakni Sleman dan Klaten. "Erupsi Merapi merupakan bencana berkala lima tahunan, sehingga hal ini perlu mendapat perhatian serius," katanya.