REPUBLIKA.CO.ID,SOLO--Komisi Hukum Nasional (KHN) telah memberikan sedikitnya 50 rekomendasi kepada lembaga penegak hukum di Indonesia selama 2010. Namun, menurut Ketua KHN, J.E Sahetapy, rekomendasi tersebut tidak mendapat respon.
“Ada 50 rekomendasi untuk evaluasi lembaga penegak hukum yang kita kirimkan ke eksekutif, legislative, kepolisian, kejaksaan, pengadilan. Kita juga sudah kirimkan ke presiden tapi tak pernah ada respon,“ ujarnya ditemui dalam Seminar Rekomendasi Tentang Evaluasi terhadap reformasi Lembaga Penegak Hukum di Hotel Sahid Jaya, Solo, Senin (13/12).
Dari keseluruhan rekomendasi tersebut, Sahetapy mengungkapkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mendapat bagian rekomendasi paling banyak. Meski tidak dapat menyebutkan jumlah, Sahetapy mengungkapkan rekomendasi tersebut terkait permasalahan hukum dan ekonomi termasuk mengenai pengembalian aset negara yang dicuri (Stolen Asset Recovery). Hanya saja, “Bahan-bahan yang kita kirimkan ke DPR hanya menumpuk di sekretariat, “ ujarnya.
Lantaran tidak mendapat respon, Sahetapy mengaku pihaknya kesulitan untuk melihat rekomendasi mana yang telah ditindaklanjuti oleh pemerintah. Tidak adanya respon tersebut pun mengesankan kinerja KHN tidak pernah terlihat. “Kerja KHN itu seperti penyu yang bertelur di malam hari. Tidak pernah diketahui apa yang dikerjakan. Laporan kita tidak pernah didengar sama sekali, “ ujarnya.
Pemerintah, lanjut Sahetapy, justru membentuk satuan tugas (satgas) yang tidak sesuai konstitusi untuk mendapatkan rekomendasi terkait masalah hukum. “Satgas yang dibentuk seperti untuk kasus century dan mafia kasus malah dibuat untuk mencari rekomendasi. Mereka menyerahkan rekomendasi itu ke kepolisian yang belum bersih. Bagaimana bisa membersihkan lantai kalau sapunya saja kotor, “ ujarnya.
Sementara itu, Anggota KHN, Fajrul Falakh mengatakan reformasi kehakiman yang telah dilaksanakan masih menunjukkan ketidakpaduan. Menurutnya, masih ada benturan kekuasaan antara kehakiman, kepolisian, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam penuntasan masalah tindak pidana korupsi. “Tidak ada desain terpadu untuk menuntaskan masalah tindak pidana korupsi, “ imbuhnya.
Menurut Fajrul, penanganan kasus korupsi yang merugikan negara senilai di atas Rp 1 miliar lebih baik dipegang KPK. “Penanganan korupsi lebih dari Rp 1 miliar dan juga melibatkan aparat sebaiknya polisi dan kejaksaan dibekukan dulu, dan diambil alih KPK, “ ujarnya. Ini lantaran kepercayaan masyarakat terhadap Kepolisian dan Kejaksaan rendah. “Kualitas penanganan kasus korupsi kepolisian dan kejaksaan juga masih dipertanyakan, “ imbuh Fajrul.
Selama ini, Fajrul mengatakan reformasi birokrasi di dalam kehakiman dipandang berhasil ketika kepentingan taktis terpenuhi. Kepentingan tersebut seperti perpanjangan masa pensiun hakim. “Kalau tolak ukurnya kepentingan taktis seperti itu tentu sudah terpenuhi, tapi sayangnya perubahan perilaku sedikit sekali terjadi, “ ujarnya.