REPUBLIKA.CO.ID, NUSA DUA--Indonesia kembali menyelenggarakan pertemuan Bali Democracy Forum (BDF) III pada 9-10 Desember 2010 ini. Forum tersebut menunjukkan peran Indonesia yang aktif dalam menyelesaikan konflik dunia. BDF III mengambil tema Demokrasi dan Pengembangan Perdamaian dan Stabilitas.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Korea Selatan Lee Myung-bak menjadi co-chair dalam BDF III. "Kali ini kan temanya sangat khas, keterkaitannya dengan pencegahan konflik, sangat tepat waktu karena melihat situasi kondisi Korea Selatan," kata Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa di Hotel Westin, Nusa Dua, Kamis (8/12).
Marty yakin BDF akan menjadi forum utama dunia yang membahas demokrasi. "Ini satu-satunya forum di kawasan kita di mana negara-negara dan pemerintah-pemerintah yang menskipun sistem politiknya berbeda bisa duduk bersama, bertukar pandangan, bertukar pengalaman, mengenai masalah demokrasi," ujar Marty.
Sebanyak 71 negara dan peninjau akan hadir dalam BDF III. Selain Presiden Yudhoyono, kepala negara/ pemerintahan yang sudah menyatakan hadir dalam forum ini adalah Presiden Korea Selatan Lee Myung-bak, Perdana Menteri Timor Leste Xanana Gusmao, dan Sultan Brunei Darussalam Yang Dipertuan Sultan Hassanal Bokiah.
Sedangkan, negara-negara yang mengirim perwakilan setingkat menteri adalah Australia, India, Iran, Jepang, Yordania, Malaysia, Selandia Baru, Palestina, Korea Selatan, Singapura, dan Vanuatu. Jumlah negara yang hadir di BDF III ini bertambah dari forum sebelumnya pada 2008 dihadiri 40 negara dan peninjau dan pada 2009 dihadiri 48 negara dan peninjau.
"Tentu ini sesuatu yang saya kira tahun demi tahun semakin terkonsolidasi sebagai bagian dari arsitektur di kawasan kita, khususnya di kawasan Asia, mengenai, arsitektur demokrasi di kawasan, kita lihat konsolidasi ini baik dari segi jumlah peserta kemudian tingkat peserta semakin banyak menteri yang hadir," kata Marty menanggapi antusiasme peserta dalam BDF III ini.
Marty mengatakan, penyelenggaraan BDF ini juga berkembang dari segi substansi. "Dari tahun pertama (2008) sifatnya masih umum, tahun kedua (2009) sifatnya keterkaitannya dengan masalah pembangunan, tahun ketiga (2010) ini sifatnya keterkaitan dengan masalah pencegahan konflik. Saya kira dari berbagai referensi itu terlihat betapa Bali Democracy Forum ini sudah semakin menjadi bagian dari yang sangat penting dari arsitektur kawasan kita," katanya.
Menurut Marty, pembebasan Aung San Su Kyi di Myanmar juga tidak terlepas dari dialog-dialog di BDF pada 2008 silam. "Tahun ini, meskipun saya tidak menggunakan istilah 'kemajuan', paling tidak ada perkembangan dengan adanya pemilihan di Myanmar meskipun dengan masih belum 100 persen tanpa cacat, namun juga disertai dengan pembebasan Ibu Aung San Su Kyi, tentunya dialog-dialog seperti BDF ini memberikan encouragement pada pihak-pihak tertentu bahwa proses demokrasi itu adalah proses, tidak mungkin sesaat, sekejap, melainkan melalui bertahap," katanya.
Oleh karenanya, Marty yakin BDF pada 2010 juga bisa menyelesaikan konflik di Semenanjung Korea. "Sifatnya proses bertahap, tidak ada jalan pintas, kita berbagi pengalaman, berbagi praktik yang kita lakukan secara bersama, termasuk perkembangan di Korea Selatan, Semenanjung Korea ini," kata Marty menegaskan.
Terhadap konflik Korea, kata Marty, BDF III ingin memberi pengertian bahwa demokrasi bukan saja sebagai suatu konsep di dalam negara, tapi hubungan yang sifatnya didorong oleh semangat demokrasi antarnegara. "Saling menghormati, menjunjung tinggi proses demokrasi, menjunjung tinggi prinsip penyelesaian konflik secara damai, itu juga bisa membawa, bisa mencegah konflik di kawasan kita ini." kata Marty.
Seperti forum-forum sebelumnya, para kepala negara/ pemerintahan akan memberikan Chairman's Statement yang berisi rekomendasi komprehensif terkait peran demokrasi dalam mengembangkan perdamaian dan stabilitas. Chairman's Statement ini akan menjadi panduan program dan aktivitas Institute for Peace and Democracy (IPD) di 2011 dengan bantuan dari peserta BDF.