REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Batalnya KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dinobatkan menjadi pahlawan nasional dinilai mengancam semangat pluralisme nasional.
"Gus Dur gagal dinobatkan menjadi pahlawan nasional tahun ini, maka itu bisa disebut sebagai 'pembunuhan' terhadap semangat toleransi sosial, pluralisme dan multikulturalisme Indonesia," ujar Sekretaris Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) DPR, Hanif Dhakiri, Ahad (14/11).
Hanif menyayangkan hal tersebut karena Gus Dur didorong banyak kalangan berbeda untuk mendapatkan gelar pahlawan nasional. Jadi,imbuhnya, bukan karena ia pernah menjadi presiden.
"Beliau pantas digelari pahlawan karena jasa-jasanya pada bangsa ini, terutama dalam hal penjagaan pilar toleransi sosial. Itu modal utama bangsa agar bisa jadi besar, kuat dan bermartabat," jelas Hanif.
Hanif pun menyebut kondisi Gus Dur berbeda dengan mantan Presiden Soeharto. Lantaran yang mendorong mendapatkan gelar pahlawan semata-mata karena pernah menjadi presiden. Maka, munculah banyak kontroversi pada usulan Soeharto, sementara Gus Dur tidak ada kontroversi. "Saya menduga, terganjalnya Gus Dur itu karena pemerintah mau menolak Pak Harto saja, nggak enak, sehingga harus cari teman. Sementara mau meloloskan Pak Harto masih banyak kontroversi di masyarakat," tudingnya.
Maka, Hanif merasa, posisi Gus Dur dalam hal ini dikorbankan. "Ini sungguh mengecewakan, jika benar begitu adanya. Jadi tolong, jangan korbankan Gus Dur. Jangan korbankan pluralisme Indonesia," sebutnya.
Sebelumnya,Presiden Soeharto dipastikan tidak mendapat gelar pahlawan nasional dari pemerintah tahun ini. Gelar pahlawan diberikan kepada mendiang Johannes Leimena dan Abraham Dimara. Penganugerahan dilangsungkan Kamis ini, 11 November 2010 di Istana Negara. Pemberian gelar ditetapkan sidang Dewan Gelar Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan pada 1 November 2010.