REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Permasalahan yang dihadapi para pengungsi di daerah bencana memiliki sisi yang kompleks. Efek ekonomi, efek sosial, dan bahkan efek keagamaan sebagai dampak langsung dan dampak ikutan dari bencana memerlukan penanganan secara komprehensif dengan bobot keseriusan yang tinggi. Warga masyarakat pedesaan yang memiliki sumber ekonomi yang terbatas dengan terjadinya bencana ibarat jatuh ditimpa tangga.
Di daerah Yogyakarta dan Jawa Tengah, sejumlah pengungsi bencana letusan Gunung Merapi mulai menjual benda berharga, seperti barang elektronik dan hewan ternak, karena sudah kehabisan uang tunai setelah satu pekan berada di tempat pengungsian dan tidak bisa bekerja. Para pengungsi juga rawan terhadap aksi para rentenir yang 'menangguk di air keruh'. Mengerikan pula ancaman kejahatan seperti pencurian dan perampokan terhadap harta benda yang ditinggalkan pemiliknya yang menunjukkan sindrom kerusakan moral bangsa kita.
Sementara itu dapat dibayangkan kesulitan yang dihadapi para pengungsi banjir di Wasior, Papua Barat. Tingkat kesulitan yang luar biasa terjadi di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, di mana untuk kapal berlabuh dari pulau ke pulau dalam rangka pendistribusian bantuan makanan dan obat-obatan harus menempuh perjalanan panjang dengan menghadang ketinggian ombak samudera dan cuaca yang tidak bisa diperhitungkan.
Banyak sektor kehidupan masyarakat perkotaan dan pedesaan yang lumpuh setiap terjadi bencana. Bank Pembangunan Asia (ADB) mencatat pengaruh yang paling penting akibat bencana di berbagai negara adalah kemiskinan. Faktor-faktor lainnya dapat dikurangi jika penduduk yang terkena dampak bencana tidak terjerat dalam kemiskinan. Dalam kenyataan, susunan ekonomi yang mapan di dalam masyarakat berubah drastis dengan pening katan marjinalisasi penduduk yang dilanda bencana.
Tidak hanya ancaman kemiskinan ekonomi yang dikhawatirkan di tengah bencana. Kondisi lain yang bisa timbul di pengungsian massal adalah melemahnya ketaatan beribadah, tergerusnya akhlak, gangguan kejiwaan, disfungsi keluarga, dan pemurtadan. Pola penanganan pengungsi secara konvensional sepertinya tidak cukup memadai. Seorang pengurus BAZNAS mengatakan mungkin bisa ditempuh pola lain dalam penanganan pengungsi, misalnya pola muhajirin dan anshar, dimana satu keluarga yang mampu menampung keluarga pengungsi, terutama untuk pengungsi yang mempunyai bayi dan anakanak serta orang lanjut usia.
Program aksi 'Peduli Bencana' yang dilakukan oleh berbagai lembaga pengelola zakat dalam membantu masyarakat muslim di daerah bencana tidak terbatas selama tahap tanggap darurat saja. Tanggap darurat yang penuh dengan kesibukan dan lemah koordinasi baru seperempat bagian dari penanganan bencana. Mitigasi bencana memerlukan tindakan lanjutan, yakni tahap rehabilitasi dan rekonstruksi.
Rehabilitasi, diartikan sebagai upaya meningkatkan kemampuan masyarakat di wilayah yang terkena dampak bencana untuk memulihkan pola hidup normal seperti sebelum terjadi bencananya. Sedangkan rekonstruksi adalah pembangunan yang bersifat permanen atau penggantian kerugian fasilitas fisik, pemulihan secara penuh terhadap pelayanan dan infrastruktur lokal, dan revitalisasi ekonomi (A.B. Susanto, Disaster Management, 2006).
Dalam kaitan di atas, program aksi lembaga pengelola zakat (BAZ dan LAZ) selama ini selalu dicadangkan untuk tahap rehabilitasi dan rekonstruksi sehingga ancaman kemiskinan di tengah bencana dapat diantisipasi. Peranan yang dilakukan lembaga pengelola zakat tidak mengurangi kewajiban yang harus dijalankan Pemerintah untuk melindungi warga negara.
Hancurnya modalitas sosial menyebabkan masyarakat di daerah bencana kehilangan kemampuan dan kesempatan untuk memenuhi kebutuhan dasar secara normal dan wajar. Kondisi tersebut memerlukan antisipasi dan solusi yang tepat. Pola pemulihan (recovery) ekonomi masyarakat melalui kebijakan asuransi pertanian dan peternakan barangkali sudah mendesak diterapkan di negeri rawan bencana ini. Jika hal itu diabaikan, maka angka kemiskinan akan makin bertambah.
Kearifan lokal (local wisdom) juga harus diberdayakan dalam konteks penanggulangan bencana. Tidak seorang pun bisa memprediksi kapan Ibu Pertiwi akan aman dari bencana yang menguras air mata. Entah berapa banyak lagi korban manusia, kerugian moril dan materil yang akan terjadi. Kita tidak patut menyalahkan fenomena alam. Bahwa tidak ada musibah yang terjadi di muka bumi atau mengenai diri manusia melainkan semuanya berdasar takdir dan ketetapan Allah SWT (QS Al Hadid [57):22). Bahkan tidak jatuh sehelai daun pun melainkan Allah SWT mengetahuinya (QS Al An’am [6]: 59).
Untuk itu manusia harus melakukan muhasabah dan introspeksi di tengah bencana. Rumah ataupun masjid boleh roboh diguncang gempa dan letusan Gunung Merapi, tapi iman tidak boleh runtuh. Rasulullah SAW mengingatkan dalam sebuah Hadits, “Nyaris kemiskinan mendekatkan seseorang kepada kekafiran”. Kemiskinan sebagai dampak yang mengancam di tengah bencana akan dapat diatasi jika Pe me rintah dan masyarakat berbuat menurut garis tugas dan tanggung jawab masing-masing.
Salah satu potensi besar yang dimiliki umat Islam untuk menyelamatkan bangsa adalah potensi zakat, infak, sedekah, dan wakaf. Studi Bank Pembangunan Asia (ADB) tahun 2010 ini menyebutkan, jumlah orang yang mampu di Indonesia makin meningkat. Jika seluruh potensi dan kekuatan umat digerak kan dan didayagunakan, maka ancaman kemiskin an tidak akan merajalela di tengah bencana. Wallahu a’lam bishawab.