REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --- Migrant Care kembali mendesak pemerintah untuk meninjau kembali terminal tenaga kerja Indonesia (TKI) dan segera menghapusnya. ''Karena di terminal tersebut TKI mengalami pemerasan dan diskriminasi,'' tutur Direktur Eksekutif Migrant Care, Anis Hidayah kepada Republika, Rabu (3/11).
Ia memaparkan pemerasan terhadap buruh migran yang terjadi pada terminal khusus ini sudah terjadi sejak sepuluh tahun lalu. Hasil survei Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga menegaskan bahwa terminal TKI tak layak disebut sebagai pelayanan publik.
Rekomendasi dari utusan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) untuk hak-hak migran yang datang ke Indonesia akhir Desember 2006 lalu pun meminta pemerintah RI untuk meninjau ulang terminal TKI dan menghapusnya. Utusan khusus tersebut melihat terminal TKI melembagakan pemerasan dan mendiskriminasi warga negara. ''Ini bisa menjadi momentum agar terminal TKI segera dihapus,'' tutur dia.
Menurutnya, tak perlu ada sentralisasi pemulangan. "Setiap buruh migran bebas untuk langsung pulang ke daerah tanpa harus ke Jakarta dahulu,'' kata Anis.
Pantauan Migrant Care, setiap harinya ada sekitar 1.000 orang TKI yang pulang melalui terminal TKI. Di dalam terminal tersebut terjadi ketidakwajaran harga pada beberapa jasa yang ditawarkan. Ke Indramayu misalnya harga tiket Rp 400 ribu, jual pulsa isi Rp 50 ribu dijual Rp 100 ribu dan porter paling murah Rp 20 ribu. ''Belum lagi dari terminal ke daerah asal masih ada pungutan,'' kata Anis.