REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak akan menghentikan proses penyidikan kasus dugaan suap cek pelawat pemilihan deputi gubernur senior Bank Indonesia pada 2004 silam. Meskipun gugatan dari enam tersangkanya telah dilayangkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Senin lalu (1/11).
"Sampai saat ini penydikan TC (travel cheque) belum selesai dan masih akan kita telusuri pemberinya," jelas Juru Bicara KPK Johan Budi SP, Rabu (3/11).
Secara prosedur hukum, KPK pun paham jika muncul gugatan atau praperadilan terhadap kasus dugaan tindak pidana korupsi yang ditangani. Pasalnya, imbuh Johan, hal itu merupakan hak tiap warga negara yang mengalami proses hukum yang menurut mereka tak sesuai.
"Kami siap bila ada yang menggugat. Untuk menanggapinya melalui biro hukum. Lantaran selama ini, kita selalu yakin atas semua hasil pemeriksaan," papar Johan.
Sebelumnya, politisi PDI Perjuangan Max Moein cs melalui pengacaranya Petrus Selestinus mengajukan gugatan hukum pada KPK. Alasannya, komisi antikorupsi itu menetapkan status tersangka bagi para penerima terlebih dahulu, tanpa menyentuh si pemberi cek perjalanan yang diduga suap di balik terpilihnya Miranda Swaray Goeltom menjadi Deputi Gubernur Senior BI.
Selain itu, pengacara Ary Muladi ini pun menuding KPK takut untuk menyentuh dan mencari pihak-pihak yang memiliki kepentingan untuk memberikan cek perjalanan tersebut. "Kami gugat dalam perdata, karena kita anggap KPK tidak menyentuh pihak yang di atas," tuturnya.
Selain KPK, Petrus juga mengajukan gugatan terhadap dua perusahaan milik Nunun Nurbaeti, PT Wahana Esa Sembada, PT Marga Sukses Sejahtera, dan juga akan menggugat Ari Malangjudo, DPP serta Fraksi PDI Perjuangan, dan juga Miranda Swaray Goeltom. Terkait kasus pemberian cek pelawat pada sejumlah anggota dewan, KPK sudah menetapkan 26 anggota Komisi Keuangan DPR periode 1999-2004 sebagai tersangka.
Mereka diduga telah menerima suap usai pemilihan Miranda sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. KPK menyangkakan para mantan anggota DPR itu melanggar ketentuan mengenai penyuapan yakni Pasal 5 ayat (2) jo Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, atau Pasal 11 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) kesatu Kitab Undang-undang Hukum Pidana.