REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) siap menghadapi gugatan hukum para tersangka kasus suap cek pelawat pemilihan deputi gubernur senior Bank Indonesia pada 2004 lalu. "Kita siap. Tentunya kita dalam memutuskan status hukum sesorang sudah berdasarkan proses dan prosedur hukum yang berlaku. Ada dua alat bukti yang sudah kita temukan untuk membuktikan," papar Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan M Jasin, Senin (1/11).
Jasin pun bersikap positif terhadap gugatan yang diajukan Max Moein cs. Hal itu, lanjutnya, hak setiap masyarakat dalam melakukan suatu mekanisme hukum. "Jadi silahkan saja nanti biar pengadilan yang memutuskan," pungkas Jasin.
Sebelumnya, kuasa hukum para tersangka kasus cek pelawat pemilihan deputi gubernur senior Bank Indonesia pada 2004, Max Moein cs menggugat KPK. Mereka mengajukan gugatan melawan hukum dan praperadilan terhadap komisi antikorupsi ini ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
"KPK, belum menemukan pemberi suap, dan alasan peruntukannya, dan keburu-keburu menetapkan si penerima menjadi tersangka," ungkap anggota kuasa hukum Max Moein cs, Petrus Selestinus, Senin (1/11).
Seharusnya, lanjut Petrus, KPK menetapkan status tersangka bagi para penerima terlebih dahulu, tanpa menyentuh si pemberi cek perjalanan yang diduga
suap di balik terpilihnya Miranda Swaray Goeltom menjadi Deputi Gubernur Senior BI. Selain itu, pengacara Ary Muladi ini pun menuding KPK takut untuk menyentuh dan mencari pihak-pihak yang memiliki kepentingan untuk memberikan cek perjalanan tersebut.
"Kami gugat dalam perdata, karena kita anggap KPK tidak menyentuh pihak yang di atas," tuturnya. Selain KPK, Petrus juga mengajukan gugatan terhadap dua perusahaan milik Nunun Nurbaeti, PT Wahana Esa Sembada, PT Marga Sukses Sejahtera, dan juga akan menggugat Ari Malangjudo, DPP serta Fraksi PDI Perjuangan, dan juga Miranda Swaray Goeltom.
Terkait kasus pemberian cek pelawat pada sejumlah anggota dewan, KPK sudah menetapkan 26 anggota Komisi Keuangan DPR periode 1999-2004 sebagai tersangka. Mereka diduga telah menerima suap usai pemilihan Miranda sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia.
KPK menyangkakan para mantan anggota DPR itu melanggar ketentuan mengenai penyuapan yakni Pasal 5 ayat (2) jo Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, atau Pasal 11 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) kesatu Kitab Undang-undang Hukum Pidana.