Selasa 19 Oct 2010 02:28 WIB

Uji Materi Pemberhentian Sementara Kepala Daerah Harus Ditolak

Rep: Rosyid Nurul Hakim/ Red: Budi Raharjo
Ilustrasi
Foto: Edwin/Republika
Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Pemerintah meminta Mahkamah Konsitusi (MK) menolak permohonan uji materi Undang Undang (UU) 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, terkait pemberhentian sementara terhadap kepala daerah yang telah menjadi terdakwa. Sebab, pada persidangan yang lain, permohonan serupa sudah ditolak seluruhnya.

"Memohon kepada Mahkamah agar dapat memberikan putusan yang istiqomah dengan putusan terdahulu dalam perkara yang sama konstruksi hukumnya," ujar Staf Ahli Menteri Dalam Negeri, Suwarno Putra Raharjo, dalam persidangan di gedung MK, Senin (18/10).

Dalam catatannya, pada persidangan uji materi UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, dan DPD yang mempersoalkan tentang pemberhentian sementara anggota dewan karena menjadi terdakwa, MK menolak permohonan uji materi tersebut. Isi pasal 31 ayat 1 UU Nomor 32 Tahun 2004 yang diujikan kali ini memiliki konstruksi yang sama dengan permohonan yang ditolak tersebut.

Selain itu, Suwarno menjelaskan, pemberhentian sementara itu penting untuk menjaga kewibawaan lembaga. Kewibawaan itu dapat didukung dengan pemerintahan negara yang bersih dan akuntabilitas yang tinggi. Status terdakwa yang melekat pada seorang kepala daerah, juga dikhawatirkan dapat memberikan beban psikologis, sehingga menganggu jalannya tugas dan fungsinya. Kebijakan untuk memberhentikan sementara tersebut, juga erat kaitannya dengan pertimbangan moralitas dan nurani.

Sementara itu, ahli yang diajukan pemohon (Bupati Lampung Timur, Hi Satono), Syaiful Ahmad Dinar, justru mengatakan bahwa pelaksanaan pasal tentang pemberhentian sementara itu melanggar hak asasi manusia. Sebab pemberhentian tersebut sudah menjadi semacam vonis atau hukuman terhadap kepala daerah. Padahal dari sisi hukum pidana, hukuman itu datang dari keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

"Saya berpendapat, UU yang mangatakan terdakwa diberhentikan sementara itu sudah menajadi vonis padahal yang berhak memebrikan vonis adalah pengadilan," ujar Syaiful yang memiliki keahlian dibidang hukum pidana itu.

Menurutnya sesuai dengan UUD 1945, perlindungan hak asasi tidak hanya diberikan pada korban atau masyarakat saja, tetapi juga orang yang dinyatakan sebagai terdakwa. Sebab dalam proses persidangan belum tentu apa yang didakwakan itu benar. "Mereka belum tentu bersalah maka harus dilindungi juga hak asasinya," kata Syaiful. Jika ingin berlaku adil, UU Nomor 32 Tahun 2004 itu seharusnya tidak boleh mendahului keputusan pengadilan. Sebab fungsi kepala daerah sangat penting untuk menjadi penyambung aspirasi rakyatnya.

Seperti diketahui, Hi Satono menjadi tersangka kasus dugaan korupsi dana APBD Lampung Timur. Korupsi itu diduga mengakibatkan negara mengalami kerugian sebesar Rp 119 miliar. Kasus tersebut bermula dari penunjukan BPR Tripanca Setiadana sebagai bank pemegang rekening giro daerah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement