REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Mahkamah Konsitusi (MK) dituding sebagai antek mafia hukum. Terutama dalam penyelesaian sengketa pemilukada yang disidangkan di lembaga penjaga konstitusi itu. "Dalam memutuskan hasil Pemilukada Kabupaten Merauke, MK hanya menjadi bagian dari antek dan oknum mafia hukum," ujar Kordinator aksi AMPUH (Aksi Masyarakat Peduli Hukum), Caken Sayori, di depan gedung MK, Selasa (05/10).
Menurutnya, dalam putusan itu ada permainan antara elit partai politik dengan hakim konstitusi. Sehingga diduga, MK tidak menghormati hasil pemilukada byang sudah menjadi keputusan KPUD. Seperti yang diketahui, dalam perkara sengketa Pemilukada Kabupaten Merauke, MK memutuskan untuk diadakan pemungutan suara ulang pada 10 distrik.
Hal ini berimplikasi tidak sahnya kemenangan Romanus Mbarak dan Sunaryo yang pada pemilukada memenangkan sebanyak 43.661 suara atau sekitar 46,56 persen. Jumlah pendapatan suara itu mengungguli calon yang lain, yaitu a Daniel Walinaulik dan Omah Laduani Ladamay, Frederikus gebze dan Waryoto, dan Laurensius Gebze dan Achnan Rosyadi.
Keputusan itu, menurut Caken, sudah mencederai hati rakyat Meruke. "Demokrasi lokal telah dikebiri oleh penegak hukum sendiri," katanya. MK seharusnya bisa jujur dan adil dalam memutuskan sebuah perkara, bukan justru berpihak pada calon tertentu.
Oleh karena itu, dalam tuntutannya, AMPUH meminta keputusan KPUD Kabupaten Merauke yang memenangkan Romanus Mbarak dan Sunaryo wajob menjadi keputusan final. Hakim konstitusi dari partai politik harus mundur. MK wajib bersih adri oknum-oknum broker politik.