Jumat 24 Sep 2010 06:14 WIB

Jaksa Agung Dinilai Gagal, Presiden Didesak Ganti Hendarman

Rep: Indah Wulandari/ Red: Djibril Muhammad
Jaksa Agung Hendarman Supandji
Foto: Prasetyo Utomo/Antara
Jaksa Agung Hendarman Supandji

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Jaksa Agung Hendarman Supandji dinilai gagal memimpin dan membina institusi kejaksaan. Karena itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono didesak segera meganti pucuk pimpinan di tubuh kejaksaan, yaitu Hendarman Supandji.

"Lebih dari itu, Jaksa Agung Hendarman Supanji juga gagal di dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang pernah terjadi di Indonesia," ujar Direktur Eksekutif Imparsial, Poengky Indarti, Kamis (23/9).

Dari perspektif penegakan HAM, lanjut dia, Kejaksaan telah menjadi bagian dari kompleksitas penyelesaian kasus pelanggaran HAM dan telah menjadi bagian dari lingkaran impunitas itu sendiri. Sedangkan dalam kasus Munir, kejaksaan tidak menunjukkan kesungguhan yang maksimal di dalam memainkan perannya sebagai jaksa.

Poengky mencontohkan, itu terlihat dari penyusunan dakwaan yang lemah dan pemilihan jaksa Cyrus Sinaga dalam  persidangan terdakwa Muchdi PR, yang pada kenyataannya tidak memiliki kompetensi dan justru bermasalah karena diduga terkait dengan skandal mafia hukum. "Imparsial mendesak kepada Presiden untuk segera mengganti Jaksa Agung Hendarman Supanji dan segera memilih Jaksa Agung yang baru," tegas Poengky.

Amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK), dianggapnya sebagai momentum pergantian Jaksa Agung. Sehingga dapat digunakan sebagai pijakan awal untuk melakukan reformasi di institusi kejaksaan. Selain itu, dalam jangka panjang, Imparsial mencermati, pemberantasan mafia hukum di Kejaksaan dan reformasi internal institusi Kejaksaan Agung bisa terwujud. Tapi, bila Kejaksaan Agung dipimpin oleh individu yang berasal dari luar institusi Kejaksaan (non-karir) dan bukan dari internal Kejaksaan (jaksa karir).

"Jaksa karir tentu hanya akan mempertahankan status quo Kejaksaan dan menyuburkan praktek kolusi antar sesama korps Kejaksaan," sebut Poengky.

Imparsial pun mengecam sikap para jaksa yang menolak Jaksa Agung yang berasal dari luar institusi Kejaksaan. Sikap tersebut tidak mencerminkan sikap profesionalisme sebagai aparat penegak hukum. Sebagai bagian dari aparat penegak hukum, tutur Poengky, para jaksa sepantasnya tidak boleh menyatakan sikap politik yang bersifat mendesak kepada Presiden terkait dengan pemilihan Jaksa Agung.

Sikap politik para jaksa itu jelas melawan undang-undang tentang kejaksaan yang di dalamnya mengizinkan jaksa agung untuk dapat dipilih dari jaksa non-karier. Selain itu, penguatan dalam melakukan pengawasan terhadap institusi kejaksaan merupakan suatu hal yang penting untuk dilakukan. Yakni dengan memperkuat kewenangan komisi kejaksaan.

Hal tersebut dapat dilakukan dengan merevisi UU No 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan dan Peraturan Presiden No 18 Tahun 2005 tentang Komisi Kejaksaan, dengan menambah kewenangan penindakan yang dapat dilakukan oleh Komisi Kejaksaan terhadap jaksa bermasalah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement