REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Pemerintah tak mengakui warga negara Indonesia (WNI) yang terancam hukuman mati di Malaysia sebagai tenaga kerja Indonesia (TKI). Baik Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) dan Badan Nasional Perlindungan dan Penempatan TKI (BN2TKI) menyangkal hal itu.
Direktur Pengamanan TKI BNP2TKI, Brigjen Pol Dede Jayalaksana mengungkapkan, kasus tersebut kini telah ditangani oleh Kementerian Luar Negeri (Kemenlu). "Kalau itu, sudah diurus Pak Teguh (Teguh Wardoyo, Direktur Perlindungan Kemenlu)," kata Dede kepada Republika, Selasa (24/8).
Menakertrans Muhaimin Iskandar mengatakan hal serupa. "Itu semuanya belum tentu TKI," katanya kepada wartawan, Selasa. Dia meyakinkan, selama para WNI yang bekerja di Malaysia adalah TKI legal, pihaknya siap menyediakan pendampingan hukum. "TKI formal terus terang belum ada, sejauh datanya ada, selalu kami dampingi secara hukum," jelasnya.
Muhaimin mengatakan, saat ini memang banyak TKI ilegal di Malaysia. Faktor pendukung hal itu, lanjut dia, karena kedekatan secara geografis. Para TKI ilegal awalnya bertujuan untuk wisata di Malaysia. Lalu tanpa menggunakan visa kerja, mereka memanfaatkan kesempatan tersebut untuk mengeruk ringgit.
Kepala Pusat Humas Kemenakertrans, Budi Hartawan mengungkapkan, memang terdapat tiga WNI yang sudah divonis hukuman mati oleh Pemerintah Malaysia. Ketiga WNI tersebut adalah Bustaman, Tarmizi, dan Parlan Dadeh.
Pada kesempatan yang sama, Muhaimin juga menuturkan, terdapat 177 WNI yang terancam hukuman mati di Malaysia. Dari jumlah tersebut, 144 di antaranya adalah kasus narkoba, dan selebihnya kasus kriminal. Dia mengatakan, data 345 TKI yang disampaikan Migrant Care adalah data akumulatif dari tahun 1990.
Sementara itu, Direktur Migrant Care, Anis Hidayah mengungkapkan kekecewaannya terhadap langkah pemerintah dalam upaya perlindungan kepada para TKI. "Kalaupun bukan TKI, Mereka adalah WNI yang harus dilindungi," katanya. Selain itu, pemerintah juga dilihatnya sedang melakukan upaya pencitraan ala SBY. Salah satunya adalah memanipulasi data para TKI yang terancam hukuman mati tersebut.
Pun juga dengan langkah pengiriman dua pejabat BNP2TKI ke Malaysia. "Mengapa hanya mengirim staf ke sana, mestinya Presiden yang turun langsung," ujar wanita berambut pendek itu. Pengiriman staf itupun dilihatnya sebagai lip service saja. Karena pengiriman staf tersebut dianggapnya tak akan memberi dampak keringanan hukum apapun.
"Jumlah 345 itu adalah data KBRI di Malaysia per Januari 2009," kata Anis. Selain itu, dia menyatakan, jumlah kasus yang berbuntut tuntutan hukuman mati pada 1990-an tidaklah terlalu banyak.