Rabu 25 Aug 2010 02:28 WIB

Kerugian Konstitusional Yusril tak Relevan

Rep: Rosyid Nurul Hakim/ Red: Endro Yuwanto
Yusril Ihza Mahendra
Yusril Ihza Mahendra

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Kerugian konstitusional mantan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (HAM), Yusril Ihza Mahendra, dianggap tidak relevan dengan substansi uji materi Undang Undang (UU) Kejaksaan. Kalaupun Pasal 22 ayat (1) huruf D dari UU itu dibatalkan, kerugian tetap akan terjadi.

"Yang dimohonkan oleh pemohon Pasal 22 ayat (1) huruf D, menurut pemohon merugikan kepentingannya. Menurut saya, bukan pada pasal itu letak kerugian konstitusionalnya," ujar mantan Hakim Konstitusi, Letjen (purn) Achmad Roestandi ketika memberikan keterangan ahli dari pihak pemerintah dalam sidang uji materi UU Kejaksaan di Mahakamah Konstitusi (MK), Selasa (24/08). Menurutnya, masih ada UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), KUHAP, atau UU lain yang masih memberatkan Yusril.

Dalam pandangan Achmad, Yusril mengajukan gugutan uji materi karena merasa dirugikan dengan penahanan dirinya terkait sebuah kasus korupsi. Jaksa Agung yang memerintahkan penahanan dianggap tidak sah karena seharusnya sudah selesai masa jabatannya. "Bisa saja mungkin nanti ditangkap bukan oleh jaksa yang ini, tapi jaksa yang baru nanti," katanya. Jika pasal tersebut dibatalkan maka efeknya tidak akan berlaku surut. Sehingga proses hukum dari Yusril akan tetap berjalan dan tetap dinyatakan sah.

Hal serupa juga dikatakan oleh ahli yang dihadirkan pemerintah lainnya, Adnan Buyung Nasution. Menurut mantan Anggota Dewan Pertimbangan Presiden itu, Yusril justru mencampuradukkan antara posisi Jaksa Agung dengan Kejaksaan sebagai sebuah lembaga dalam materi uji materinya. "Jadi andaikata pun dalil pemohon diterima MK tidak berarti seluruh tindakan jaksa menjadi serta merta tidak sah atau batal demi hukum," katanya.

Sehingga kalaupun ada kerugian dari pihak pemohon, hal tersebut merupakan konsekuensinya sebagai tersangka yang seharusnya masuk ranah pidana, bukan ranah konstitusional. "Tidak ada seorangpun yang kebal hukum," ujar Adnan. Kejaksaan memang sebuah lembaga yang merupakan suatu kesatuan. Tapi bukan berarti tindakan jaksa bergantung pada Jaksa Agung.

Menanggapi pernyataan-pernyataan tersebut, Yusril mengatakan dia tidak ada keinginan untuk lari dari kasus korupsi yang sedang menjeratnya. Akan tetapi dia merasa sangat dirugikan ketika yang memerintahkan penahanan itu adalah seseorang yang tidak sah dalam jabatannya. "Saya ingin menegaskan tidak ada keinginan saya untuk mengelak tuduhan jaksa," ujarnya.

Yusril kemudian menganalogikan posisinya dengan kondisi seseorang yang ditangkap dan ditahan oleh seorang polisi gadungan ketika sedang mengendarai motor. Proses tersebut menurutnya sangat merugikan. "Apakah itu bukan kerugian jika mengatahui polisi itu gadungan," katanya.

Seperti yang diketahui, Yusril menguji UU Kejaksaan terkait posisi Jaksa Agung. Dia menganggap Hendarman Supandji mengisi jabatan tersebut secara ilegal. Menurutnya ketika Kabinet Indonesia Bersatu pertama berakhir, seharusnya Hendarman berhenti atau habis masa jabatannya. Akan tetapi Hendarman justru masih memangku jabatan itu hingga Kabinet Indonesia Bersatu kedua. Padahal tidak ada keputusan dari presiden terkait pengangkatan Hendarman sebagai Jaksa Agung.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement