REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Anggota Komisi III DPR Tjatur Sapto Edi mengatakan, DPR sudah menyelesaikan pembahasan undang-undang baru yang salah satunya memperketat pemberian grasi. Undang-undang itu mengamatkan agar setiap grasi harus melalui penelitian dan proses di Kementerian Hukum dan HAM. Oleh karenanya, kementerian tersebut harus memiliki unit atau organ khusus yang menangani grasi.
Sebelum ada undang-undang baru ini, kata Tjatur, keluarga atau pengacara terpidana mengajukan grasi langsung kepada Presiden melalui Sekretariat Negara. "Pola seperti ini filternya longgar," kata Tjatur, Sabtu (21/8). Oleh karenanya, undang-undang baru yang segera berlaku ini mengubah pola pengajuan, yakni melalui unit khusus di Kementerian Hukum dan HAM.
Saat ini, undang-undang baru itu masih berada di Sekretariat Negara untuk dilakukan penomoran dan pencatatan di lembaran negara. Tjatur mengatakan, undang-undang baru itu tidak mengubah esensi pemberian grasi, yakni grasi itu sepenuhnya tetap menjadi hak Presiden sesuai dengan amanat UUD 1945.
Dengan adanya unit khusus yang menangani dan meneliti grasi ini, DPR dan masyarakat bisa mengontrol. "Nanti unit ini sifatnya terbuka, bisa diawasi dan dikontrol DPR, publik, dan masyarakat," kata Tjatur. Melalui pola ini diharapkan tidak ada lagi pemberian grasi yang menimbulkan pertentangan di ranah publik.
Dalam undang-undang baru ini disebutkan, Presiden harus mendapat pertimbangan dari Menteri Hukum dan HAM dan Mahkamah Agung dalam memberikan grasi. Ketika memberikan grasi kepada mantan Bupati Kutai Kertanegara Syaukani HR, kata Tjatur, Presiden belum menjalankan pola yang diatur undang-undang baru tersebut.
Meski demikian, Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi menegaskan, Presiden mengeluarkan grasi setelah mendapat pertimbangan dari Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar yang menemui langsung Presiden dan menyampaikan bahwa Syaukani telah sakit permanen dan perlu diberikan grasi dengan alasan kemanusiaan. Menurut Sudi, Presiden sudah dua kali menolak grasi Syaukani.