REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Pansus Rancangan Undang-undang (RUU) Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang akan mengizinkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan untuk menunda transaksi yang dianggap mencurigakan. PPATK tak perlu lagi meminta izin kepada pihak penegak hukum untuk melakukan penundaan transaksi ini.
"Jadi kalau PPATK menemukan ada transaksi keuangan yang mencurigakan, mereka bisa langsung meminta pihak PJK (penyedia Jasa Keuangan) untuk menunda transaksi selama lima hari. Jika waktunya kurang, bisa diminta penambahan selama 15 hari," ujar anggota Pansus RUU Pencucian Uang, Ahmad Yani, Sabtu (31/7), di Jakarta.
Penundaan transaksi ini sudah cukup untuk menyelidiki tindak pidana dalam transaksi yang mencurigakan. Selain itu, Ahmad berharap ini bisa mencegah pencucian uang.
"Untuk pengusaha, penundaan sampai maksimal 20 hari ini sudah lama sekali. Waktu itu juga cukup untuk melakukan penyelidikan," kata Ahmad.
Untuk melakukan penundan ini, tuturnya, PPATK tak perlu meminta izin kepada pihak berwenang, seperti kejaksaan dan kepolisian. Mereka bisa langsung memerintahkan pada penyedia jasa keuangan untuk menunda transaksi.
Walupun begitu, ia menegaskan bahwa DPR belum akan memberikan wewenang untuk memblokir rekening kepada PPATK. Hal ini hanya bisa dilakukan oleh penegak hukum.
Selain penundaan transaksi, kewenangan baru yang juga disetujui DPR dalam RUU adalah yang wajib melaporkan transaksi kepada PPATK tak hanya perbankan dan penyedia jasa keuangan saja. Seluruh transaksi di atas Rp 500 juta, baik dengan mata uang rupiah maupun asing, nantinya harus dilaporkan ke PPATK.
Menteri Hukum dan HAM, Patrialis Akbar, menilai positif penundaan transaksi sementara yang diberikan kewenangannya pada PPATK ini. "Kalau PPATK tak bisa melakukan hal itu (penundaan transaksi), pencucian uang, uang dari terorisme, dan segala macam seperti itu tidak ada manfaatnya. Mereka (pelaku pencucian uang) akan segera melarikan (dana)," ujar Patrialis Jakarta.