Rabu 21 Jul 2010 03:09 WIB

Ketua DK Minta Sanksi Pelanggaran Anggota KPU Dipertegas

Rep: kim/ Red: Krisman Purwoko

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Dewan Kehormatan (DK) Komisi Pemilihan Umum (KPU) meminta sanksi untuk anggota KPU yang meloncat ke partai politik dipertegas. Hal ini diungkapkan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara DK KPU dengan Komisi II DPR, Selasa (20/07). "Dengan kekurangan yang ada, kami mengusulkan beberapa hal dalam perubahan Undang Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu," ujar Ketua DK KPU, Jimly Asshiddiqie, saat memaparkan penjelasannya di hadapan anggota dewan.

Menurutnya, ada tiga hal yang harus dibenahi dalam UU tersebut. Yaitu, komposisi DK, mekanisme pemeriksaan semacam hukum acara, dan bentuk-bentuk sanksi yang dijatuhkan. Dalam pandangan Jimly, komposisi DK sebaiknya lebih banyak berasal dari orang luar KPU. Agar tingkat independensi dan eksternalitas pengawasannya lebih efektif.

Saat ini, sesuai dengan UU Nomor 22 Tahun 2007, justru komposisi terbanyak berasal dari KPU (tiga orang dari KPU, dua orang dari luar KPU). Kemudian dari sisi mekanisme pemeriksaan, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu mengusulkan adanya semacam hukum acara untuk memeriksa anggota KPU yang bermasalah.

Lalu terkait masalah sanksi, Jimly sebagai Ketua DK merasa UU telah membatasi kewenangannya untuk memberikan sanksi berat terhadap Andi Nurpati. Seperti yang diketahui Andi telah melanggar kode etik dan melanggar sumpah/janji karena berpindah ke partai politik.

Jimly ingin merekomendasikan pemberhentian tidak hormat kepada Andi. Tetapi UU Nomor 22 Tahun 2007 tidak mengenal istilah itu. Sehingga hanya digunakan istilah pemberhentian karena pelanggaran. "UU yang tuan-tuan buat di sini tidak menggunakan istilah itu (pemberhentian tidak hormat). Padahal kita ingin menggunakan kata-kata yang keras," katanya.

Oleh karena itu, demi perbaikan aturan ke depan, dalam usulan soal sanksi ini, Jimly merujuk pada sanksi terhadap senator di Amerika Serikat. "Di sana semua senator itu takut dengan komisi etik yang hanya terdiri dari lima orang. Semua laporan termasuk surat kaleng diperiksa sangat profesional oleh komisi etik itu," ujarnya.

Dari hasil pemeriksaan itu muncul jenis pelanggaran dan sanksinya yang bertahap. Sanksi ringan berupa teguran pribadi, dalam artian surat teguran yang khusus untuk orang itu. Lalu meningkat ke teguran terbuka. Yaitu diumumkan di media dan disebar di anggota senat.

Lalu tingkat yang lebih tinggi adalah skorsing atau pemberhentian sementara. Sanksi ini meningkat lagi menjadi pemberhentian tetap, dan sanksi paling berat adalah pemberhentian tidak hormat. "Orang yang dua kali dapat teguran pribadi itu langsung teguran terbuka, kalau dua teguran terbuka bisa langsung skorsing atau pemberhentian," jelas Jimly.

Kemudian jika dalam komisi etik senat itu ditemukan tindak pidana maka bisa dilanjutkan ke kepolisian. Menurut Jimly, perbaikan yang diusulkannya itu sangat penting untuk mengontrol perilaku anggota lembaga negara. "Kita perlu terus mentradisikan upaya untuk menegakan sistem kode etik ini dengan memperbaiki," ujarnya.

Khusus untuk KPU, perbaikan memang harus dilakukan demi menjaga kepercayaan masyarakat. Karena jika kepercayaan itu menurun, bisa jadi hasil penghitungan suara tidak diakui.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement