REPUBLIKA.CO.ID, DONGGALA--Awal Juli ini, pemerintah memutuskan tarif dasar listrik (TDL) naik. Mendadak, saya ingat pada Sudirman. Lulusan Sarjana Tek nik yang memilih tinggal di lereng Gunung Kawere-were, Palolo, Donggala, Sulawesi Tengah. Dengan pengetahuan sebagai sarjana teknik, ia membangun peradaban tanah leluhurnya, melalui teknologi mikrohidro. Jika ma lam, satu kampung di Kawere-were yang jauh dari akses peradaban modern, terang bak kunang berkelip di malam hari.
Kawere-were, kawasan perbukitan yang dikepung hutan belantara dan perkebunan coklat. Untuk menuju daerah itu, hanya dapat dilalui dengan motor, itu pun, jika cuaca tidak hujan. Sebagian warga, bahkan berjalan kaki melintas jalan setapak yang menanjak sekitar lima kilometer. “Kalau nunggu pemerintah, entah tahun berapa listrik sampai di sini,” terang Sudirman dua tahun lalu, di pondoknya yang berbentuk rumah panggung.
“Saya kuliah memang sudah niat untuk membangun desa,” tandasnya. Di masyarakat, sudirman dikenal pemuda yang kreatif. Ia gemar utakatik alat elektronik dan belajar hal-hal baru yang terkait teknologi. Meski punya kemampuan seperti itu, Sudirman tak tertarik hidup di kota. Justru dengan keahliannya, ia ingin membangun desa. “Sayang dukungan pemerintah kurang untuk membuat program seperti ini. Malah tak jarang dipersulit,” ungkapnya.
Ia menjelaskan, listrik yang diba ngun dengan modal sendiri itu sangat bermanfaat bagi masyarakat. Namun, dari pemerintah desa kadang dimintai pajak desa. Padahal, kalau warga membayar Rp 5000 per bulan, itu untuk biaya perawatan dan pembelian kabel listrik.
“Mereka kira ini bisnis. Padahal saya lebih banyak nomboknya. Harus nya pemerintah mendukung jika ada warga yang secara mandiri membantu tugas pemerintah,” kata ayah dua anak itu. Kendala mikohidro yang dibangun Sudirman, biasanya karena faktor alam. Jika Kawere-were musim hujan dan banjir, kincir air Sudirman kerap hancur.
Seperti saat dua tahun lalu desa itu dilanda banjir bandang, tiang listrik dan kabelnya hanyut. Sehingga listrik yang dapat menerangi 75 rumah itu, padam hingga satu bulan. “Kalau hancur seperti ini, saya harus buat dari awal, dan itu perlu modal. Biasanya setelah panen coklat saya bisa perbaiki lagi,” katanya.
Di mata warga Kawere-were, Sudirman dikenal orang muda yang peduli. Ia selalu berusaha mendorong kehidupan di desa yang berada di lereng bukit dan gunung itu, maju. Pendidikan, bagi Sudirman hal yang mutlak. Bahkan, ia mewakafkan ta nah nya untuk dibangun sekolah dasar.
Prinsipnya, tinggal boleh di pedalaman tapi kita harus menguasai peradaban. Tak hanya di Kawere-were Sudirman mampu menghadirkan listrik. Ia juga membuat di beberapa tempat di wilayah Sulawesi Tengah.
Kita membayangkan, andaikan kerja hebat seperti yang dilakoni Sudirman ini didukung pemerintah, rasanya menghadirkan listrik murah bagi rakyat, amat mudah. Bahkan, jika ke naik an TDL itu untuk mensubsidi pemba ngunan listrik swadaya di desa-desa pelosok, wajib didukung. Tapi, jika kenaikan TDL atas dalih menutup operasional PLN, ini kebijakan yang tidak kreatif.