Sabtu 15 May 2010 05:02 WIB

Undang-undang Antiterorisme akan Direvisi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Pemerintah akan segera merevisi UU No 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme untuk lebih mengoptimalkan pemberantasan kejahatan yang meresahkan masyarakat itu.

Menteri Koodinator Politik Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto mengatakan hal itu dalam jumpa pers di Mabes Polri, Jakarta, Rabu bersama Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri. Menurut Djoko, revisi itu dilakukan karena ada beberapa hal yang masih belum tercantum dalam undang-undang itu sehingga perlu ada penegasan sebagai payung hukum.

"UU itu akan dievaluasi dengan perubahan-perubahan yang antara lain bagaimana bisa mencegah terorisme," ujarnya. Selain itu, UU itu akan memperluas soal pihak-pihak yang ikut membantu terorisme terutama untuk menjerat para penyandang dana.

Aturan pidana dalam aturan itu juga akan direvisi. Djoko menegaskan, untuk memberantas terorisme, pemerintah belum berpikir untuk membuat undang-undang keamanan dalam negeri semacam "internal security act" (ISA) sebagaimana yang diberlakukan di Malaysia.

Dengan ISA, Malaysia bisa menahan seseorang selama dua tahun tanpa proses hukum dengan alasan membahayakan keamanan negara.

"Kita tidak ada pikiran untuk memberlakukan ISA. Evaluasi UU N0 15 tahun 2003 akan dilakukan untuk memperkuat pemberantasan terorisme. Bagian yang masih lemah akan diperkuat," ujarnya.

Sementara itu, Kapolri mendukung penuh revisi UU itu karena aturan itu masih membuat penyidik Polri kedodoran dalam bekerja sebab dibatasi waktu hanya tujuh hari untuk memeriksa orang yang dicurigai terlibat terorisme.

Dalam UU itu, Polri berwenang memeriksa orang yang diduga terlibat terorisme selama tujuh hari tanpa didampingi pengacara.

Jika selama itu, tidak ada bukti maka yang ditangkap harus dilepaskan sedangkan yang terlibat baru ditahan resmi di hari ke delapan setelah penangkapan. "Waktu tujuh hari sangat singkat. Anggota saya 'keponthal-ponthal' (kedodoran) untuk bisa mengungkap teror," kata mantan Kapolda Sumut dan Kalsel itu.

Kapolri menilai, pemeriksaan selama tujuh hari tanpa pengacara itu tidak bisa disebut melanggar hak asasi manusia karena harus memperhatikan hak asasi orang lain karena ada hak warga lain untuk tidak menjadi sasaran teror. "Mudah-mudahan revisi UU itu akan masuk DPR pada tahun 2010 atau 2011," ujar mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri itu.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement