Selasa 27 Apr 2010 03:59 WIB

Undang-undang Baru Picu Kriminalisasi Pers

Rep: mursalin yasland/ Red: taufik rachman

BANDAR LAMPUNG - Ketua Dewan Pers, Bagir Manan, menegaskan kehadiran undang undang (UU) baru, dapat memicu terjadinya kriminalisasi terhadap pers.  Pada sisi lain, ancaman sanksi pidana yang lebih berat dan keras dapat mengancam kemerdekaan pers.

Bagir Manan mengungkapkan hal tersebut dalam Dialog Pers yang diselenggarakan PWI Cabang Lampung di Bandar Lampung, Senin (26/4). Sebagai pembicara lain, Gubernur Lampung, Sjachroedin ZP dan Kapolda Lampung, Brigjen Pol Sulistyo Ishak.

Menurut mantan ketua Mahkamah Agung ini, kriminalisasi pers dimaksudkan sebagai kehadiran berbagai UU baru yang disertai ancaman pidanan yang lebih berat dan lebih keras, yang dapat dikenakan kepada pers. "Kriminalisasi pers dapat menjadi sarana membelenggu kemerdekaan pers," tegasnya.

Untuk itu, ujar dia, penerapan pidana terhadap pers harus dengan memperhatikan kedudukan kode etik jurnalistik dan UU Pers, seperti hak jawab, hak koreksi, sebagai syarat mendahului, dan sebagai syarat kematangan berperkara.

"Kriminalisasi pers (dengan) ancaman pidana yang lebih berat dan keras, bersentuhan langsung dengan jaminan dan perlindungan terhadap kemerdekaan pers," kata Bagir.

Ia mengatakan perlu ada kehati-hatian dalam memeriksa perkara pers, sebelum menentukan secara apriori hukum yang akan diterapkan. Hendaknya para penegak hukum wajib terlebih dahulu memeriksa sifat perbuatan pers yang bersangkutan; Apakah perbuatan dilakukan sebagai tugas jurnalistik atau di luar tugas jurnalistik.

Menurut dia, perkara/sengketa pers timbul akibat dari pelaksanaan atau aktivitas jurnalistik yang dilakukan pers yakni wartawan, redaksi, dan perusahaan pers. Di luar itu seperti tindakan pemerasan dan penipuan oleh wartawan, bukan perkara atau sengketa pers.

Kapolda Lampung, Brigjen Pol Sulistyo Ishak, mengatakan kemerdekaan pers tidak bisa diartikan sebagai kebebasan mutlak. Selain harus mentaati, norma agama, dan kesusilaan, pers juga harus mengindahkan aturan perundang-undangan yang berlaku yakni KUHAP dan KUHP.

"Berarti tidak ada kebebasan seseorang yang bersifat mutlak, termasuk tanpa terkecuali pers, karena akan dibatasi hak orang atau pihak lain," kata mantan wakil Divisi Humas Mabes Polri ini.

Menurut dia, ada perbedaan persepsi pers dan polri. Pers bekerja mengacu UU pers dan penyiaran, sebadang Polri atau penyidik harus membuktikan kebenaran materil dan formil, yang mengacu pada KUHAP dan UU Tindak Pidana.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement