Sabtu 24 Oct 2020 13:03 WIB

Kisah Miris Yaidah, Sulitnya Urus Akta Kematian di Surabaya

Kecewa dengan kelurahan dan Dispendukcapil Surabaya, Yaidah mendatangi Kemendagri.

Yaidah, warga Perumahan Lembah Harapan, Kelurahan Lidah Wetan, Kecamatan Lakarsantri, dipersulit mengurus akta kematian di kantor kelurahan dan Disdukcapil Kota Surabaya hingga mengurusnya ke Kemendagri.
Foto: Dok
Yaidah, warga Perumahan Lembah Harapan, Kelurahan Lidah Wetan, Kecamatan Lakarsantri, dipersulit mengurus akta kematian di kantor kelurahan dan Disdukcapil Kota Surabaya hingga mengurusnya ke Kemendagri.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dadang Kurnia

Sudah jatuh tertimpa tangga, peribahasa yang sepertinya tepat untuk menggambarkan apa yang dialami Yaidah (51 tahun). Warga Perumahan Lembah Harapan, Kelurahan Lidah Wetan, Kecamatan Lakarsantri, Kota Surabaya, Jawa Timur, ini memiliki pengalaman mendapatkan pelayanan kurang baik dari pemerintah.

Rentetan pengalaman pahit seolah tiada jeda menghantam kehidupan ibu dua anak ini. Setelah kehilangan putra bungsunya, Septian Nur Mu'aziz (23), Yaidah hampir gagal mengeklaim asuransi hanya karena oknum petugas kelurahan dan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dispendukcapil) Kota Surabaya, mempersulitnya mengurus surat kematian.

Kisah itu bermula pada 28 Juli 2020. Kala itu, Yaidah harus mengikhlaskan kepergian Mu'aziz yang dipanggil ke Haribaan Tuhan. Mua'ziz menyusul kakak perempuannya, yang beberapa tahun sebelumnya meninggal pada usianya ke-27. Setelah meninggalnya Mu'aziz, Yaidah berinisiatif untuk mengurus surat kematian sebagai syarat bisa mengeklaim asuransi.

Pasalnya, ia mengetahui sang anak terdaftar di asuransi bapaknya, yang jika cair bisa dimanfaatkannya untuk keperluan selamatan atau pengajian. "Bapaknya kan kerja di Kantor Pos, nah anak saya ini didaftarkan asuransinya ditanggung perusahaan," kata Yaidah kala diwawancara Republika, Sabtu (24/10).

Demi bisa mengurus klaim asuransi, Yaidah wajib melengkapi berkas, termasuk memiliki akta kematian. Pun ada batas maksimal klaim asuransi, yaitu dua bulan setelah kepergian pemegang polis. Untuk itu, Yaidah pada awal Agustus 2020, bergegas ke kantor Kelurahan Lidah Wetan untuk mengurusnya.

Dia berbekal surat pengantar dari rumah sakit. Di surat tersebut memang tidak dijelaskan secara rinci penyebab kematian sang anak. Hanya terdapat catatan bertuliskan DOA (death on arrival), untuk menggambarkan seorang pasien datang di rumah sakit dalam keadaan meninggal dunia.

Ketika surat itu diserahkan Yaidah ke petugas kelurahan, sikap penolakan yang didapatnya. Petugas itu tidak percaya kalau Mu'aziz meninggal karena doa. Sang petugas tidak paham bahwa DOA yang tertera bukan doa seperti orang beribadah meminta pertolongan kepada Sang Pencipta.

"Masa wong (orang) meninggal kok karena doa. Gak ada karena doa," ujar Yaidah ingat betul kalimat yang dilontarkan petugas kelurahan kepadanya saat itu.

Yaidah pun berinisiatif kembali ke rumah sakit untuk meminta penjelasan dokter terkait penyebab meninggalnya sang anak. Dia juga kurang memiliki penjelasan terkait DOA, sehingga tak bisa melawan argumen petugas kelurahan. Belakangan, Yaidah mengungkapkan, anaknya diketahui meninggal gara-gara terkena angin duduk.

Setelah mendapat penjelasan, Yaidah kembali ke kantor kelurahan untuk melanjutkan proses pembuatan akta kematian yang sempat terganjal tulisan keterangan DOA. Sayangnya, kantor Kelurahan Lidah Wetan harus ditutup (lock down), karena ada petugas yang meninggal positif Covid-19.

Yaidah pun pulang dengan harap-harap cemas, karena masalah administrasi tak kunjung beres. Pada 25 Agustus 2020, Yaidah kembali ke kantor kelurahan, menyampaikan berkas-berkas yang dibutuhkan untuk mengurus akta kematian. Setelah berhari-hari menunggu, belum juga ada kabar baik terkait progres pembuatan akta tersebut.

Padahal, hampir setiap hari Yaidah mengunjungi kantor kelurahan, hanya sekadar ingin mengetahui proses pengurusannya. Dia mendapat beragam alasan dari petugas, mulai sistem yang tidak bisa diakses dan alibi lainnya. "Lama-lama saya tanyakan juga gak ada kabar. Padahal pihak asuransi hanya memberi waktu 60 hari, waktu kan berjalan terus. Lek gak (kalau tidak) jadi terus yaopo (bagaimana)?"

Kesabaran Yaidah pun mulai menipis. Pasalnya, tinggal sepekan lagi tenggat mengurus asuransi milik Mu'aziz berakhir. Pada 21 September 2020, ia memutuskan mengambil seluruh berkas yang ada di kantor kelurahan. Yaidah bergegas menuju kantor Dispendukcapil Kota Surabaya di Gedung Siola.

Di Siola, bukan pelayanan ramah, seperti yang digembor-gemborkan yang dapat, melainkan sikap ketus petugas kepada Yaidah. Dia malah diminta kembali ke kelurahan, karena di Dispendukcapil Surabaya tidak membuka pelayanan tatap muka selama pandemi Covid-19.

"Belum apa-apa, saya cuma nanya aja mau ngurus akta kematian, langsung jawabnya nyolot. Kalau mengurus akta kematian itu sekarang gak ada tatap muka Bu. Ibu harus kembali ke kelurahan," kata Yaidah menjelaskan pelayanan yang diperolehnya dari petugas.

Yaidah pun tidak langsung menuruti petugas Dispendukcapil Surabaya itu. Dia menjelaskan alasannya datang ke Gedung Siola, lantaran berkasnya yang sudah berpekan-pekan menginap di kelurahan, tidak kunjung diproses. Padahal, ia ingin sekali mendapatkan akta kematian anaknya.

Pada perdebatan pertama, Yadiah menang. Dia diarahkan ke lantai tiga Gedung Siola oleh petugas yang menemuinya di bawah. Padi ditanam, tumbuh ilalang. Seperti itu peribahasa yang tepat dialami Yaidah. Sambutan ramah yang diharapkan, malah sikap arogansi petugas lantai tiga yang diterima Yaidah.

Yaidah diminta kembali diminta ke lantai satu. Petugas yang disebutnya bernama Anisa itu, mengatakan, layanan untuk pembuatan akta kematian berada di lantai satu. Yaidah pun merasa kesabarannya telah mencapai batas, karena merasa dipermainkan petugas.

Dengan nada tinggi, Yaidah menjelaskan kepada petugas tersebut, ia melangkah ke lantai tiga lantaran diminta oleh petugas di lantai bawah. Akhirnya berkas-berkas yang digenggamnya diminta petugas tersebut. Dibawanya berkas tersebut ke dalam ruangan. Yaidah merasa mendapat harapan.

"Lama menunggu berjam-jam belum juga ke luar. Padahal kondisi saya lagi puasa. Akhirnya keluarlah perempuan ini yang disebut oleh petugas namanya Anisa itu," kata Yaidah menjelaskan situasinya di kantor Dispendukcapil Surabaya.  

Sayangnya, bukan kabar baik yang dibawa petugas tersebut. Sang petugas mengatakan, akta kematian Mu'aziz, sulit diakses karena ada tanda petik dalam namanya. Untuk bisa mengakses data sang anak, kata petugas, Yaidah harus menunggu persetujuan dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

Yaidah pun menanyakan berapa lama waktu yang dibutuhkan. Dia berpikir cepat, karena tengat waktu mengurus klaim asuransi anaknya sudah dalam hitungan hari. "Yo lama wong yang dikirim bulan Juli aja baru jadi barusan," kata petugas perempuan tersebut kepada Yaidah sambil ngeloyor masuk.

Yaidah pun merasakan bingung tidak keruan. Dia pun meminta izin suami, dan memberanikan diri berangkat ke Jakarta. Padahal, ia tidak sedikit pun memiliki gambaran situasi di Ibu Kota. Yaidah berangkat bermodalkan tekad. Sasarannya adalah kantor Kemendagri, yang diyakini bisa mengeluarkan akta kematian dengan cepat.

Keesokan harinya, Yaidah berangkat ke Jakarta naik kereta. Suasana pandemi membuat penumpang kereta sedikit dan di rangkaian terlihat sepi. Yaidah banyak berdoa selama dalam perjalanan agar dimudahkan urusannya. Sampai di Stasiun Pasar Senen, Yaidah langsung memesan ojek daring menuju Kemendagri di Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat.

Sesampainya di sana, Yaidah diberi tahu petugas, kalau ia salah alamat mengurus akta kematian. Petugas yang didatanginya, mengarahkan Yaidah menuju ke kantor Direktorat Jenderal Kependudukan Dan Pencatatan Sipil (Ditjen Dukcapil) Kemendagri di Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan.

"Sampainya di Jakarta Selatan, ditanya ibu mau apa? Mau ngurus akta kematian. Ibu dari mana? Dari Surabaya, kaget semua para penjaganya itu. Kok ngurusnya ke sini, ngurusnya ya di sana. Saya jawab tanda petiknya nunggu dari Kemendagri pusat gak bisa diakses," ujar Yaidah.

Tidak lama berselang, Yaidah ditemui petugas yang kebetulan sama-sama berasal dari Jawa Timur. Tepatnya dari Krian, Kabupaten Sidoarjo. Petugas itu bisa bahasa Jawa, dan mendengarkan keluh-kesahnya. Setelah Yaidah menjelaskan rentetan kronologi yang sampai membawanya ke Jakarta, petugas tersebut turut bersimpati.

Sang petugas langsung menyimpulkan apa yang dialaminya adalah akibat ulah oknum pegawai kelurahan dan Disdukcapil Surabaya. Petugas Ditjen Dukcapil Kemendagri lekas menelepon salah satu petinggi Dispendukcapil Surabaya bernama Herlambang.

"Pak ini ada warga Bapak kok sampai ke sini hanya karena ngurus akta kematian. Ini orangnya ada di depan saya. Pak tolong dijadikan kasihan ini ibu jauh-jauh," kata Yaidah mengulang apa yang disampaikan petugas melalui sambungan telponnya. Dia mendengar langsung orang itu mengontak Dispendukcapil Surabaya.

Petugas yang ada di Dispendukcapil Surabaya itu pun menyanggupinya, dan menyatakan berkas akta kematian yang diminta Yaidah dapat segera jadi saat itu juga. Setelah berkas yang diurus Herlambang selesai, Yaidah menjelaskan, dikirimlah file dalam bentuk PDF ke gawai petugas yang ada di Jakarta.

Oleh petugas Ditjen Dukcapil Kemendagri, file tersebut kemudian diteruskan ke Whatsapp milik Yaidah. Tidak itu saja, petugas di Jakarta juga membantu mencetak akta kematian tersebut, untuk kemudian diserahkan kepada Yaidah. Karena kepalang sudah di Jakarta, ia sekalian mengurus asuransi ke Kantor Pos pusat di Jakarta.

"Saat itu kan yang tanggal 23 itu langsung dikirim ke HP di-print, tanggal 24 langsung saya serahkan ke pihak asuransi pusat. Kan pusatnya di Jakarta. Alhamdulillah langsung lega," kata Yaidah yang akhirnya bisa mengurus asuransi anaknya, tiga hari sebelum melewati batas waktu dua bulan.

Pemkot Surabaya melalui Dispendukcapil menyampaikan permohonan maaf atas apa yang dialami Yaidah, yang terjadi karena kesalahan komunikasi. “Memang saat itu Mal Pelayanan Publik sedang menerapkan lockdown, sehingga petugas kita juga terbatas. Karena kebanyakan mereka bekerja dari rumah,” kata Kepala Dispendukcapil Kota Surabaya, Agus Imam Sonhaji.

Di Mal Pelayanan Publik Siola, kata Agus, Yaidah mendapat informasi dari petugas yang kurang tepat. Pasalnya, petugas itu tidak memiliki kapabilitas dalam menyelesaikan permasalahan administrasi kependudukan. Alhasil, Yaidah salah menangkap pemahaman dan mengharuskan ke Kemendagri untuk menyelesaikan akta kematian anaknya itu.

“Sebenarnya proses input nama yang bertanda petik ke SIAK dapat diselesaikan oleh Dispendukcapil. Progres itu juga dapat di-tracking melalui pengaduan beberapa kanal resmi Dispendukcapil,” ujar Agus menjelaskan.

Berkaca dari pengalaman itu, pihaknya mengimbau kepada masyarakat apabila mengalami kendala atau permasalahan terkait pengurusan administrasi kependudukan supaya melaporkan informasi itu ke channel pengaduan resmi Dispendukcapil Surabaya di call center nomor 031-99254200 atau di laman http://dukcapilsapawarga.disdukcapilsurabaya.id.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement