REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di tengah letupan senjata dan kabar duka yang tak kunjung reda dari melayangnya nyawa puluhan ribu warga Sudan, sepak bola menjadi ruang kecil bagi tumbuhnya harapan. Semangat menghadirkan sedikit kebahagiaan bagi rakyat Sudan inilah yang diusung pelatih tim nasional Sudan, James Kwesi Appiah, saat mengantar timnya tampil di Piala Afrika 2025.
Turnamen di Maroko itu bukan sekadar kompetisi, melainkan momen penghiburan bagi rakyat Sudan yang hidup di bawah bayang-bayang konflik bersenjata berkepanjangan. Sejak April 2023, Sudan terjerumus dalam perang antara militer dan kelompok paramiliter Rapid Support Forces (RSF).
Konflik tersebut telah merenggut sekitar 150 ribu nyawa dan memaksa hampir 14 juta orang mengungsi, menjadikannya salah satu krisis kemanusiaan terbesar di dunia saat ini. Dalam situasi demikian, kehadiran Sudan di panggung Piala Afrika menjadi cerita tentang keteguhan dan daya tahan.
Appiah, pelatih kelahiran Ghana, menyadari sepenuhnya beban emosional yang dibawa timnya. Namun, ia tetap memimpin Sudan melewati kualifikasi dengan segala keterbatasan, termasuk harus memainkan seluruh laga kandang di luar negeri. Bagi Appiah, lolos ke putaran final adalah bukti bahwa sepak bola masih bisa menyatukan bangsa yang tercerai-berai.
Ia menegaskan, setiap pemain datang dengan satu tujuan, yakni memberi kebanggaan bagi Sudan. Dalam setiap sesi latihan dan pertandingan, tim berupaya tampil sepenuh hati, bukan hanya untuk hasil di papan skor, tetapi juga untuk makna yang lebih besar bagi mereka yang menonton dari kejauhan.
“Kami di sini untuk memastikan kami melakukan yang terbaik demi menghibur semua orang yang datang ke stadion,” ujar Appiah pada Selasa (23/12/2025) dalam konferensi pers jelang laga Grup E melawan Aljazair.
Kedua tim akan berhadapan Rabu (24/12/2025) malam pukul 22.00 WIB.
Di balik strategi dan persiapan teknis, tim Sudan juga memikul luka personal. Appiah mengungkapkan bahwa dalam perjalanan tim, ada kalanya mereka menerima kabar duka tentang anggota keluarga pemain yang menjadi korban konflik. Situasi itu menuntut kesabaran dan empati, karena sepak bola tidak bisa dipisahkan dari realitas hidup para pemainnya.
Absennya kompetisi domestik selama tiga tahun terakhir turut menjadi tantangan besar. Meski demikian, Appiah memastikan tim nasional tetap menjaga identitas dan martabat permainan mereka. Klub-klub besar Sudan seperti Al Hilal, Al Merrikh, dan Al Ahli Wad Madani bahkan harus berkompetisi di Liga Rwanda demi menjaga keberlangsungan aktivitas sepak bola.
Kapten tim Sudan, Bakhit Khamis, menggambarkan suasana batin para pemain yang bercampur antara duka dan rasa syukur. Mereka menyadari betapa berat situasi di Tanah Air mereka. Namun, kehadiran di Piala Afrika memberi ruang untuk bernapas dan mengingatkan bahwa Sudan masih ada di peta sepak bola Afrika.
“Situasi di Sudan benar-benar mengerikan dalam setiap arti kata, tetapi kami bersyukur bisa berada di sini,” kata Bakhit.