REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) kembali menggelar Global Summer Week (GSW) 2025, sebuah program pembelajaran internasional yang akan berlangsung pada 14–25 Juli 2025. Acara ini mempertemukan lebih dari 60 mahasiswa dari 11 negara dan 10 universitas ternama dunia, termasuk University of Canterbury (Selandia Baru), Copenhagen Business School (Denmark), Kyoto University (Jepang), Nanyang Technological University (Singapura), hingga Universitas Gadjah Mada.
Mengusung tema "Innovative Business Models for a Sustainable and Inclusive Future", acara ini dirancang sebagai ruang kolaborasi lintas budaya dan pengembangan kepemimpinan global. Ketua GSW 2025, Gunawan mengatakan GSW merupakan acara rutin tahunan yang diselenggarakan setiap tahun sejak 2014. Program ini tak hanya soal bagaimana belajar di ruang kelas, melainkan tentang membentuk pemimpin global masa depan.
"GSW 2025 mengusung tema keberlanjutan, inklusivitas, dan kewirausahaan. Program ini dirancang untuk membekali mahasiswa dengan pengetahuan dasar di bidang-bidang tersebut. Di samping itu, melalui kegiatan ini memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk mengasah keterampilan kewirausahaan dengan mengembangkan ide bisnis berkelanjutan," kata Gunawan, Senin (14/7/2025).
Wakil Ketua GSW 2025, Amanda Acintya mengungkapkan hal senada. Baginya, program ini tidak hanya membentuk kapasitas akademik, tetapi juga mengembangkan karakter kepemimpinan lintas budaya. Berbagai aktivitas disusun untuk mendorong keterlibatan aktif mahasiswa dalam menghadapi tantangan nyata di dunia bisnis dan sosial, termasuk kuliah dari para ahli (expert-led talks), proyek kewirausahaan sosial (social business immersion), kunjungan industri, serta kegiatan budaya. Program ini juga menyediakan 3 SKS (setara 5 ECTS) dan seluruh rangkaian diselenggarakan di Yogyakarta.
"Kami ingin menumbuhkan inovasi, kepemimpinan, dan pemahaman lintas budaya melalui pengalaman yang membekas. Kami berharap peserta tidak hanya mendapatkan pengetahuan baru, tetapi juga membangun koneksi dan kesadaran sosial," ujarnya.
Dalam rangkaian kegiatan ini, mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menjadi salah satu tokoh yang memberikan pandangan mendalam mengenai pentingnya narrative leadership, khususnya dalam menghadapi krisis lingkungan hidup di masa depan.
Anies menegaskan persoalan lingkungan tidak bisa hanya ditangani oleh negara, institusi, atau korporasi semata, tetapi dibutuhkan partisipasi aktif dari seluruh elemen masyarakat, termasuk dari tingkat rumah tangga.
"Di masa depan, berhadapan dengan persoalan lingkungan hidup itu dibutuhkan kerja dari semua pihak, agar semua pihak bisa terlibat harus ada kepemimpinan yang menggerakan, kepemimpinan yang mengajak, kepemimpinan yang membuat semua orang terpanggil untuk berbuat dan data menyampaikan fakta tapi narasi menyampaikan makna yang membuat orang terpanggil itu bukan semata-mata karena informasi tapi terpanggil karena emosinya tersentuh," ucapnya.
Menurut Anies, kepemimpinan yang mampu menciptakan keterikatan emosional yang membuat orang merasa bertanggung jawab dan terlibat adalah esensi dari narrative leadership. Pesan inilah yang disampaikannya di hadapan puluhan mahasiswa dari berbagai negara tersebut.
Dalam konteks ini, Anies lalu mengajak untuk melihat kepemimpinan bukan hanya sebagai pengelolaan program, tetapi sebagai upaya membangun cerita bersama yang bisa mempersatukan dan menggerakkan. Baginya, solusi lingkungan hidup tidak akan efektif jika hanya mengandalkan pemerintah atau korporasi. Keterlibatan seluruh elemen masyarakat menjadi kunci.
"Ke depan kepemimpinan untuk menggerakan semua usaha lingkungan hidup harus membawa keterikatan emosi yang menanggil rasa tanggung jawab untuk terlibat supaya semua terpanggil untuk terlibat," ungkapnya.