REPUBLIKA.CO.ID, GAZA – Upaya menembus pengepungan dan blokade yang diberlakukan Israel terhadap Jalur Gaza mulai mendapat sorotan belakangan? Sejak kapan wilayah itu dijadikan penjara terbuka oleh Israel?
Merujuk +972 Magazine, blokade yang diberlakukan Israel ke Gaza tak dimulai pada 2023, bahkan tak juga dimulai pada 2007, tetapi jauh sebelum itu. Sari Bashi pendiri dan direktur Gisha, sebuah LSM Israel yang mengadvokasi kebebasan bergerak Palestina mengatakan bahwa penutupan bertahap Gaza dimulai pada tahun 1991.
Saat itu Israel membatalkan izin keluar umum yang memungkinkan sebagian besar warga Palestina untuk bergerak bebas melalui Israel dan Wilayah Pendudukan Palestina. Penduduk non-Yahudi di Gaza dan Tepi Barat diharuskan mendapatkan izin individu.
Hal ini terjadi menyusul Intifadah Pertama pada 1980-an. Penting untuk diingat bahwa Intifada Pertama, pada umumnya, adalah pemberontakan tanpa kekerasan yang terdiri dari pembangkangan sipil, pemogokan, dan boikot terhadap barang-barang Israel.
Dimulai pada akhir tahun 1980-an, Israel mulai menerapkan pembatasan dengan memperkenalkan sistem yang mengharuskan warga Palestina di Gaza untuk mendapatkan izin yang sulit diperoleh untuk bekerja atau bepergian melalui Israel atau mengakses Tepi Barat dan Yerusalem Timur yang diduduki.

Merujuk Aljazirah, khususnya sejak 1993, Israel telah menggunakan taktik “penutupan” di wilayah Palestina secara rutin, terkadang melarang semua warga Palestina di wilayah tertentu untuk keluar selama berbulan-bulan. Pada 1995, Israel membangun pagar elektronik dan tembok beton di sekitar Jalur Gaza, memfasilitasi runtuhnya interaksi antara wilayah Palestina yang terpecah.
Pada 2000, ketika Intifada Kedua meletus, Israel membatalkan banyak izin perjalanan dan izin kerja yang ada di Gaza, dan secara signifikan mengurangi jumlah izin baru yang dikeluarkan. Pada September 2000, pelajar Palestina dilarang melakukan perjalanan dari Gaza ke Tepi Barat. Secara umum, perjalanan antar wilayah Palestina yang diduduki Israel juga semakin dibatasi.
Pada 2001, Israel mengebom dan menghancurkan bandara Gaza, hanya tiga tahun setelah dibuka. Empat tahun kemudian, dalam apa yang disebut Israel sebagai “pelepasan diri” dari Gaza, sekitar 8.000 warga Yahudi Israel yang tinggal di pemukiman ilegal di Gaza ditarik keluar dari Jalur Gaza.
Israel mengklaim bahwa pendudukannya di Gaza berhenti sejak mereka menarik pasukan dan pemukimnya dari wilayah tersebut, namun hukum internasional memandang Gaza sebagai wilayah yang diduduki karena Israel memiliki kendali penuh atas wilayah tersebut.

Pada 2006, gerakan Hamas memenangkan pemilihan umum dan merebut kekuasaan dalam konflik kekerasan dengan saingannya, Fatah, setelah Fatah menolak untuk mengakui hasil pemungutan suara. Sejak Hamas berkuasa pada tahun 2007, Israel semakin meningkatkan pengepungannya.
Blokade Israel telah memutus akses warga Palestina ke pusat kota utama mereka, Yerusalem, yang menampung rumah sakit khusus, konsulat asing, bank, dan layanan penting lainnya, meskipun ketentuan Perjanjian Oslo tahun 1993 menyatakan bahwa Israel harus memperlakukan wilayah Palestina sebagai satu kesatuan politik, bukan untuk dipecah belah. Dengan memblokir perjalanan ke Yerusalem Timur, Israel juga memutus akses bagi warga Kristen dan Muslim Palestina di Gaza untuk mengakses pusat kehidupan keagamaan mereka.
Keluarga-keluarga terpecah, generasi muda tidak diberi kesempatan untuk belajar dan bekerja di luar Gaza, dan banyak yang tidak diberi hak untuk mendapatkan layanan kesehatan yang diperlukan. Blokade tersebut bertentangan dengan Pasal 33 Konvensi Jenewa Keempat, yang melarang hukuman kolektif yang menghalangi realisasi berbagai hak asasi manusia.