REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemberlakukan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan tidak luput dari sorotan pemerintah Amerika Serikat (AS). Dalam Laporan Perkiraan Perdagangan Nasional 2025 tentang Hambatan Perdagangan Luar Negeri AS, mereka mengulas tentang UU Industri Pertahanan dan Peraturan Presiden (PP) Nomor 76 Tahun 2014 tentang Mekanisme Imbal Dagang dalam Pengadaan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan dari Luar Negeri.
AS menyoroti, dua aturan itu mengamanatkan preferensi prioritas untuk bahan dan komponen dalam negeri dalam pengadaan pertahanan. Hal itu mengharuskan lembaga pertahanan untuk memprioritaskan barang dan jasa yang diproduksi di dalam negeri jika tersedia.
Selain itu, ketika entitas pemerintah Indonesia melakukan pengadaan dari pemasok pertahanan asing karena kurangnya produk yang tersedia dari pemasok Indonesia, ada persyaratan untuk mengimbangi keseimbangan perdagangan. "Kompensasi ini dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, termasuk penggabungan produksi dalam negeri, kompensasi produksi, transfer teknologi, atau kombinasi dari elemen-elemen ini," begitu isi dokumen tersebut dikutip Republika.co.id di Jakarta, Ahad (20/4/2025).
Meskipun kerangka regulasi itu berupaya untuk meningkatkan peluang bagi industri lokal, namun kerangka tersebut juga menimbulkan tantangan bagi perusahaan pertahanan asing. "Yang harus memenuhi kewajiban kompensasi yang rumit agar dapat berpartisipasi di pasar Indonesia," tulis dokumen tersebut.
"Indonesia bukan pihak dalam Perjanjian WTO (Organisasi Perdagangan Dunia) tentang Pengadaan Pemerintah (GPA), tetapi telah menjadi pengamat bagi Komite WTO tentang Pengadaan Pemerintah sejak Oktober 2012," kata isi dokumen di halaman 220 tersebut. Laporan itu dijadikan sebagai bahan negoisasi dengan Indonesia terkait penurunan tarif resiprokal yang diberlakukan Presiden Donald John Trump.