Jumat 21 Mar 2025 15:11 WIB

Transplantasi Organ Hewan ke Manusia, Antara Harapan Baru dan Kontroversi Etis

Meskipun xenotransplantasi menawarkan harapan besar, aspek etika tak bisa diabaikan.

Prihartini Widiyanti, Guru Besar Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga
Foto: dokpri
Prihartini Widiyanti, Guru Besar Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga

Oleh Prihartini Widiyanti, Guru Besar Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Airlangga

REPUBLIKA.CO.ID, Transplantasi organ hewan ke manusia hingga kini masih menjadi perdebatan yang tak kunjung usai. Keterbatasan donor manusia mendorong ilmuwan mengembangkan xenotransplantasi, yakni transplantasi organ dari hewan ke manusia.

Salah satu inovasi terbaru adalah transplantasi jantung babi ke manusia, yang telah dilakukan di beberapa negara dengan rekayasa genetika untuk mengurangi risiko penolakan organ.

Transplantasi jantung babi yang dimodifikasi secara genetik ke manusia pernah dilakukan ke seorang pria berusia 57 tahun di tahap akhir penyakit jantung di Fakultas Kedokteran Universitas Maryland (Baltimore, MD, USA).

Setelah operasi yang sangat eksperimental, pasien tersebut mampu bergerak bebas tanpa adanya bantuan bypass kardiopulmoner.

Operasi bersejarah ini mengatasi hambatan terbesar yang mungkin disebabkan penolakan kekebalan hiperakut dan mencapai hasil jangka pendek yang baik. Namun kondisi pasien mulai memburuk, dan meninggal pada 9 Maret 2022, dua bulan setelah operasi transplantasi.

Respons imun kuat di antara spesies yang berbeda merupakan hambatan terbesar terhadap xenotransplantasi. Organ hewan membawa tantangan besar terhadap rejimen imunosupresi yang ada saat ini dan masih belum diketahui apakah imunosupresan dapat secara efektif mengendalikan respons penolakan inang terhadap xenograft.

Dalam pencegahan penolakan transplantasi jantung babi ke manusia, immunosupresan baru digunakan. Namun, dampak jangka panjangnya masih harus dicermati karena rentang hidup yang berbeda antara manusia dan hewan. Selain itu, penyakit yang berasal dari hewan (zoonosis) merupakan isu penting dalam pelaksanaan xenotransplantasi.

Jenis hewan dalam transplantasi

Jenis spesies hewan dalam transplantasi sangat penting. Berdasarkan penularan patogen, transplantasi organ primata yang kekerabatannya lebih dekat tidak diperbolehkan.

Namun, babi dianggap sebagai sumber organ potensial yang ideal untuk xenotransplantasi manusia karena ukuran dan bentuknya yang mirip dengan organ manusia, mudah diperoleh, dan galur inbrida maupun galur outbred digunakan dalam penelitian praklinis.

Selain itu, babi dapat dikloning melalui transfer inti sel somatik, dan genomnya dapat diedit dengan nuklease yang direkayasa seperti zinc finger nuclease, transkripsi activator-like effector nuclease (TALEN), dan sistem CRISPR-Cas9.

Secara medis, teknologi ini menawarkan harapan baru bagi ribuan pasien yang menunggu donor organ. Dengan modifikasi genetik, organ babi dapat disesuaikan agar lebih kompatibel dengan tubuh manusia, mengurangi risiko reaksi imun yang fatal.

Meskipun kemajuan teknologi biomedis memungkinkan pengembangan organ hewan yang lebih kompatibel dengan tubuh manusia, praktik ini masih menimbulkan perdebatan etika yang kompleks.

Dilema etikanya seperti rekayasa genetik dan pengembangbiakan khusus yang berpotensi menyebabkan penderitaan dan eksploitasi hewan secara tidak etis, risiko kesehatan berupa penularan penyakit zoonosis, keberatan religius dan budaya karena adanya aturan ketat mengenai penggunaan organ hewan dalam kehidupan manusia.

Misalnya, dalam Islam babi dianggap hewan yang haram sehingga transplantasi organ dari babi dapat menimbulkan dilema moral bagi penganut agama tersebut, juga masalah keadilan dan aksesibilitas yaitu kekhawatiran bahwa xenotransplantasi dapat menciptakan kesenjangan sosial, di mana hanya individu yang kaya yang bisa memiliki akses untuk memanfaatkannya.

Aspek etika

Meskipun xenotransplantasi menawarkan harapan besar dalam dunia medis, aspek etika yang menyertainya tidak bisa diabaikan. Perlindungan terhadap kesejahteraan hewan, keamanan kesehatan manusia, serta penghormatan terhadap norma agama dan budaya harus menjadi pertimbangan utama sebelum praktik ini diterima secara luas.

Salah satu solusi yang dapat dipertimbangkan adalah rekayasa jaringan melalui biomaterial untuk memperbaiki dan mengganti kerusakan jaringan karena cedera.

Implantasi biomaterial tidak melibatkan penggunaan organ dari hewan hidup sehingga tidak menimbulkan masalah kesejahteraan hewan atau eksploitasi makhluk hidup, tidak ada kontroversi rekayasa genetika hewan untuk membuat organ yang kompatibel dengan manusia, minim risiko penularan zoonosis, serta menurunkan risiko penolakan sistem imun.

Selain itu, ketersediaan dan skalabilitas juga lebih baik, peluang biomaterial dapat dirancang untuk merangsang regenerasi jaringan tubuh sendiri, dan memungkinkan penyembuhan alami tanpa perlu menggantikan seluruh organ. Ini merupakan solusi jangka panjang yang lebih berkelanjutan dibandingkan transplantasi organ yang memiliki umur terbatas.

Xenotransplantasi sebagai salah satu pilihan rekayasa jaringan masih menyisakan beberapa efek samping bagi manusia. Diperlukan telaah mendalam terutama aspek keamanannya.

Kebutuhan mengoreksi cedera jaringan dapat diatasi salah satunya dengan eksistensi biomaterial yang dapat dikondisikan sesuai dengan kriteria aplikasi klinis pada manusia.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement