Senin 17 Mar 2025 18:36 WIB

Prabowo Diharapkan jadi Bapak Pemberantasan Korupsi

Jika berhasil Prabowo akan membawa Indonesia menjadi negara maju.

Pendiri Lingakaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, saat memaparkan riset lembaganya, terkait Berharap Prabowo Menjadi Bapak Pemberantasan Korupsi.
Foto: istimewa/doc humas
Pendiri Lingakaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, saat memaparkan riset lembaganya, terkait Berharap Prabowo Menjadi Bapak Pemberantasan Korupsi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Jika dalam lima tahun ini (2025-2029) Prabowo berhasil menjadi Bapak Pemberantas Korupsi Indonesia, juga berhasil menaikkan Indeks Tata Kelola Pemerintahan (GGI) dari 53,17 ke 70,00 maka Prabowo akan berhasil membawa Indonesia menjadi negara maju. Masalahnya, Indeks Tata Kelola Pemerintahan Indonesia masih rendah (53,17) dibandingkan dengan Korea Selatan (79,44), Jepang (84,11), dan Singapura (87,23).

Demikian salah satu kesimpulan riset LSI Denny JA, Maret 2025. Dalam riset kali ini, LSI Denny JA mengembangkan indeks tata kelola pemerintahan dengan mendayagunakan enam indeks dunia yang kredibel. 

“Negara yang gagal dalam tata kelola pemerintahan akan gagal membangun negara yang kuat. Negara yang gagal memberantas korupsi juga akan gagal mencapai apa pun secara maksimal,” kata Denny JA, Senin (17/3/2025).

Menurut Denny JA, tak peduli seberapa besar sumber daya yang dimiliki, jika pemerintahan lemah, maka kebocoran anggaran, lambannya birokrasi, dan korupsi sistemik akan menghancurkan fondasi negara. 

Indonesia kini berada di persimpangan sejarah. Di satu sisi, ambisi pertumbuhan ekonomi 8% per tahun menjadi cita-cita besar. Namun, di sisi lain, masalah yang mengakar dalam sistem tetap menjadi penghambat: korupsi, birokrasi yang tidak efisien, serta lemahnya tata kelola pemerintahan.

Peneliti LSI Denny JA, Ikrama Masloman, mengatakan, lembaganya mengembangkan Indeks Tata Kelola Pemerintahan: Good Governance Index (GGI).  Tata kelola pemerintahan adalah fondasi kemajuan sebuah bangsa. Untuk mengukurnya, GGI menilai enam pilar utama, masing-masing dipantau oleh lembaga internasional yang telah lama mengkaji kualitas pemerintahan dunia.

“Jika GGI Indonesia bisa naik dari 53,17 ke 70, maka pemerintahan akan lebih bersih, rakyat lebih sejahtera, dan sejarah akan mencatatnya sebagai era reformasi sejati,” kata Masloman.

GGI Indonesia saat ini hanya di angka 53,17. Ini jauh jika dibanding dengan dengan Singapura (87,23), Jepang (84,11), dan Korea Selatan (79,44).  Untuk bisa masuk ke jajaran negara dengan tata kelola yang baik, Indonesia harus mampu menaikkan GGI ke angka 70.

Menurut Masloman, ada enam pilar utama dalam indeks tata kelola pemerintahan yang harus diperbaiki. Pertama, korupsi.  Dijelaskan Masloman, Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Indonesia hanya 34, tertinggal dari Singapura (83), Jepang (73), dan Korea Selatan (63).

Kedua, Efektivitas Pemerintahan. Efektivitas pemerintahan Indonesia saat ini hanya 0,58. Angka ini jauh tertinggal dari Singapura (2,32), Jepang (1,63), dan Korea Selatan (1,4). “Banyak kebijakan pemerintah yang disusun dengan baik di atas kertas, tetapi gagal diimplementasikan karena birokrasi yang tidak efisien, regulasi yang berbelit, serta minimnya akuntabilitas,” ungkapnya.

Ketiga soal Demokrasi. Menurut Masloman, meskipun demokrasi di Indonesia telah berkembang sejak era reformasi, masih ada tantangan besar yang harus dihadapi. Indeks Demokrasi Indonesia saat ini berada di angka 6,53. Angka ini lebih rendah dibanding Korea Selatan (8,4) dan Jepang (8,09).

Tantangan yang masih dihadapi adalah politik uang yang masih mengakar dalam pemilihan umum, minimnya transparansi dalam pengambilan kebijakan, dan politik tanpa oposisi yang berimbang.

Keempat adalah pembangunan manusia. Indeks Pembangunan Manusia (HDI) Indonesia saat ini hanya 0,713, tertinggal jauh dari Singapura (0,949), Korea Selatan (0,929), dan Jepang (0,920). “Ketimpangan dalam akses pendidikan dan layanan kesehatan masih menjadi masalah serius,” ungkapnya.

Kelima adalah keberlanjutan lingkungan. Indeks Lingkungan Indonesia (EPI) hanya 28,2, jauh tertinggal dari Jepang (59,6) dan Singapura (50,9). Hutan terus ditebang tanpa kendali, polusi udara semakin meningkat, dan transisi energi hijau masih tertinggal dari negara lain.

“Negara-negara maju telah memahami bahwa keberlanjutan lingkungan adalah kunci untuk memastikan generasi mendatang tetap memiliki sumber daya alam yang cukup,” ungkap Masloman.

Keenam digitalisasi pemerintahan. Dijelaskan Masloman,  dii era modern, pemerintahan yang transparan dan efisien tidak bisa dilepaskan dari digitalisasi. Namun saat ini, Indeks Digitalisasi Pemerintahan Indonesia (EGDI) masih di angka 0,7991, tertinggal dari Singapura (0,9691), Korea Selatan (0,9679), dan Jepang (0,9351).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement