Kamis 16 Jan 2025 09:02 WIB

Gencatan Senjata Disepakati, Ini Mengapa Boikot Harus Berlanjut

Tujuan boikot adalah berakhirnya penjajahan Israel dan kepulangan Palestina.

Rep: Fitriyan Zamzami/ Red: Fitriyan Zamzami
Warga Palestina merayakan pengumuman kesepakatan gencatan senjata antara Hamas dan Israel di Deir al-Balah, Jalur Gaza tengah, Rabu, 15 Januari 2025.
Foto: AP Photo/Abdel Kareem Hana
Warga Palestina merayakan pengumuman kesepakatan gencatan senjata antara Hamas dan Israel di Deir al-Balah, Jalur Gaza tengah, Rabu, 15 Januari 2025.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gencatan senjata di Jalur Gaza telah disepakati dan disebut bakal berlaku mulai Ahad nanti. Apakah kemudian hal itu berarti boikot-boikot produk Israel dan yang terafiliasi dengan Zionis boleh berhenti?

Sebaliknya, Gerakan Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS) mengatakan bahwa semangat pemboikotan justru harus lebih ditingkatkan. "Kalau menurut gerakan BDS justru semakin dibutuhkan untuk peningkatan boikot divestasi dan sanksi terhadap Israel," ujar co-founder Gerakan BDS Indonesia, Muhammad Syauqi Hafiz, kepada Republika Kamis (16/1/2025).

Baca Juga

Ia mengatakan, gerakan boikot harus dilanjutkan sebagai bentuk pengawalan terhadap komitmen Israel menjalankan gencatan senjata. Selain itu, boikot juga masih perlu dilakukan untuk memberikan dorongan agar para penjahat perang yang melakukan kejahatan di Gaza bisa mendapatkan hukuman.

"Harapannya ke depan boikot lebih meningkat skala dan levelnya. Semoga bahkan bisa ada regulasi lahir untuk menjadi cover hukum aksi boikot divestasi dan sanksi di Indonesia," kata Syauqi.

Gerakan BDS sedianya sudah mulai beroperasi jauh sebelum terjadi genosida setahun belakangan. Artinya, tujuannya bukan semata terkait peristiwa teranyar. "Yang paling mendesak, kita perlu meningkatkan tekanan gerakan boikot untuk mengakhiri sepenuhnya genosida oleh Israel," bunyi pernyataan gerakan itu.

Tujuan akhir dari boikot, merujuk pernyataan itu, adalah hak kembali warga Palestina ke tanah di mana mereka diusir tentara Zionis pada 1948 lalu. "Hak kembali ke kampung halaman mereka di seantero wilayah Palestina historis lebih mendesak saat ini ketimbang sebelumnya dan tak boleh dihapuskan oleh genosida, sistem apartheid, maupun jalannya waktu."

photo
Ratusan massa dari Aliansi Rakyat Indonesia Bela Palestina menggelar aksi bela Palestina di depan Gedung Kedubes AS Jakarta, Jumat (29/11/2024). Mereka menyerukan penangkapan PM Israel Benjamin Netanyahu dan boikot terhadap produk yang terafiliasi dengan Israel. - (Republika/Edwin Dwi Putranto)

Sekretaris Jenderal Amnesty International Agnes Callamard mengatakan bahwa meskipun perjanjian gencatan senjata mungkin memberikan secercah harapan bagi warga Palestina, hal ini “sangat terlambat”. Callamard menyerukan kegagalan komunitas internasional dalam menekan Israel untuk memenuhi kewajiban hukumnya dan mengizinkan bantuan kemanusiaan mencapai Gaza.

“Bagi warga Palestina yang telah kehilangan begitu banyak, tidak ada yang bisa dirayakan ketika tidak ada jaminan bahwa mereka akan mendapatkan keadilan dan reparasi atas kejahatan mengerikan yang mereka derita,” kata Callamard dalam sebuah pernyataan semalam.

“Kecuali akar penyebab konflik ini diatasi, masyarakat Palestina dan Israel tidak akan bisa berharap akan masa depan yang lebih cerah yang dibangun berdasarkan hak, kesetaraan, dan keadilan. Israel harus membongkar sistem brutal apartheid yang diterapkannya untuk mendominasi dan menindas warga Palestina dan mengakhiri pendudukan ilegalnya di Wilayah Pendudukan Palestina untuk selamanya.”

photo
Partisipasi Generasi Z pada boikot produk Israel mencapai 50 persen. - (Tim Infografis)

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement