REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Memasuki zaman kolonialisme, peranan keturunan Arab tidak dapat dipandang sebelah mata.
Dengan mayoritas masyarakat pribumi, mereka memiliki rasa kebersamaan, khususnya dalam identitas agama. Karena itu, yang muncul kemudian adalah solidaritas untuk sama-sama melawan penjajahan Belanda.
Abad ke-20 menjadi momentum kebangkitan gerakan-gerakan nasionalis di Indonesia. Komunitas Arab di Tanah Air pun turut dalam gelombang ini. Salah satu di antaranya berpusat di Batavia (Jakarta). Organisasi yang berdiri pada 1905 ini bernama Jamiat Kheir.
Seperti tampak dari penamaannya, yang harfiah berarti 'Perkumpulan untuk Kebaikan', Jamiat Kheir berfokus pada kerja-kerja maslahat yang manfaatnya dapat dirasakan kaum Muslimin. Dengan begitu, sifatnya menjadi inklusif. Dalam arti, tidak membatasi diri hanya pada komunitas Arab di Hindia Belanda. Buktinya, banyak tokoh Islam yang turut mendaftarkan diri sebagai anggota Jamiat Kheir.
Sebagai contoh, KH Ahmad Dahlan (terdaftar dengan nomor anggota 770), HOS Tjokroaminoto (diberi amanah mengendalikan perusahaan di Surabaya), Rd Djajanegara (hoofd jaksa Batavia), dan lain-lain. Mereka dipersatukan oleh semangat untuk mewujudkan persatuan dan kebangkitan Islam.
Pemerintah kolonial berusaha menghalang-halangi keberadaan Jamiat Kheir (disebut pula: Djaimat Choir). Organisasi tersebut serta Sarekat Dagang Islam (SDI) di Surakarta dinilai membahayakan tatanan penjajahan di nusantara. Sebab, konteks geopolitik Asia Tenggara saat itu diapit pergolakan nasionalisme Cina yang dipimpin Dr Sun Yat Sen.
Dalam sebuah keterangannya, Sun Yat Sen ber terima kasih kepada Muslimin China atas keikutsertaan dalam perjuangan melawan Inggris. Berita kemenangan Jepang atas Rusia juga membuat khawatir rezim Belanda di Hindia. Sebab, itu membangkitkan perasaan bahwa Eropa dapat dikalahkan Asia.
Seorang penasihat pemerintah kolonial, KF Holle (1829-1896), lantas menyarankan, perlu adanya organisasi penyeimbang sebagai lawan dari Jamiat Kheir. Organisasi yang dimaksud hendaknya didirikan kalangan Pribumi yang mendukung hegemoni kolonial di Hindia. Cakupan kerjanya pun mesti di ibu kota, Batavia. Rencana tersebut didukung Bupati Serang Banten PAA Achmad Djajadiningrat.
"Adapun nama organisasi tandingannya, menurut PAA Achmad Djajadiningrat, harus sama pula seperti Djamiat Choir. Untuk itu, dipilihlah nama Boedi Oetomo (Budi Utomo)," tulis Suryanegara dalam Api Sejarah.
Untuk mengisi Budi Utomo, disarankan orang-orang dari suku Jawa dan kalangan bangsawan pula. Suryanegara mengatakan, memang Islam adalah agama yang dipeluk mayoritas orang Indonesia kala itu bahkan hingga sekarang.
Akan tetapi, para bangsawan Jawa dan bupati pendukung Budi Utomo tidak berpihak pada pemeluk agama mayoritas pribumi, melainkan Jawanisme atau kejawen.
Dari kenyataan sejarah tersebut, dapat dipahami bila Boedi Oetomo bersikap menolak pelaksanaan cita-cita persatuan Indonesia, 1928 M. Hal ini karena ide cita-cita persatuan Indonesia terlahir dari Kongres Jong Islamieten Bond, 1925 M.