REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengungkapkan 80 persen pelaku terorisme terpengaruh dari dunia maya atau internet. Achmad mengatakan berdasarkan data sebagian besar terorisme akibat pengaruh internet.
Hal tersebut dikatakan oleh Direktur Deradikalisasi BNPT, Brigjen R Achmad Nurwakhid dalam Forum Group Discussion (FGD) terkait deradikalisasi narapidana terorisme (Napiter) yang diadakan PT Indonesia Digital Pos (IDP) pada Selasa (28/5/2024).
"Di dunia maya dibilang keterpaparan terorisme saat ini hampir 80 persen, karena dunia maya," kata Achmad dalam FGD tersebut.
Achmad menduga kondisi itu diperparah dengan masuknya ideologi di era digital yang sangat massif. Oleh karenanya, menurutnya, perlu dilakukan penanganan dan pengawasan ketat dari paham menyimpang.
"Sehingga perlu diputus, kita harus propaganda, kaderisasi yang ada. Kita putus donasi atau logistik atau pembiayaan terorisme," ujar Achmad.
Achmad menegaskan radikalisme maupun paham yang menyesatkan tidak ada kaitannya dengan agama tertentu. Namun, kerap kali stigmanya ditempelkan pada suatu keyakinan.
"Apakah radikalisme itu terkait agama? Saya tegaskan radikalisme, ekstremisme tidak ada kaitannya dengan agama. Tapi dengan oknum umat beragama. Biasanya menunggangi agama mayoritas di suatu wilayah," ujar Achmad.
Sementara itu, Direktur Pembinaan Narapidana dan Anak Binaan, Ditjenpas, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Erwedi Supriyatno mendukung program pembinaan napiter di lapas. Salah satunya dengan program wawasan kebangsaan yang melibatkan BPIP dan BNPT.
"Napiter itu hanya salah pemahaman atau salah ideologi, dan terorisme bukan agama," kata Erwedi.
Erwedi mengungkapkan revitalisasi permasyarakatan wujud nyata penanganan para Napiter di Indonesia. Sebab, sebelumnya penanganan Napiter kerap menimbulkan gejolak.
"Dulu kami kewalahan penanganan Napiter terkait penempatan. Bahkan terjadi pemberontakan Napiter dalam lapas. Apalagi ada tren Napiter menular ke narapidana lain, seperti narapidana narkoba. Meskipun dulu satu blok, mereka bisa mempengaruhi dan ini berdampak besar," ujar Erwedi.
Erwedi menyebut data terakhir sedikitnya 223 Napiter menyatakan ikrar setia NKRI pada 2023 dan 169 Napiter menyatakan ikrar setia NKRI pada 2024.
Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Romo Antonius Benny Susetyo mengatakan penanganan terorisme tidaklah mudah, karena berkaitan dengan ideologi. Untuk itu, menurut dia, dibutuhkan pendekatan holistik dengan pendekatan Pancasila. Baik pendekatan secara ekonomi maupun sosial.
"Benar, problem saat ini yakni persebaran paham radikalisme melalui era digital. Dan ini sangat sulit, karena media sulit dijangkau ruang dan waktu," kata Benny.
Oleh karena itu, Direktur Utama PT Indonesia Digital Pos (IDP) Sumber Rajasa Ginting menuturkan seminar kali ini diadakan untuk memberikan pemahaman mendalam tentang ancaman terorisme, serta langkah-langkah preventifnya. Ginting berharap dari diskusi tersebut dapat memberikan informasi akurat dan terkini mengenai perkembangan terorisme, strategi pencegahan, serta upaya penanggulangannya.
"Terorisme bukan hanya sekadar masalah di tingkat nasional, tetapi juga menjadi isu global yang mempengaruhi banyak negara di dunia. Ancaman terorisme bisa datang dari mana saja dan kapan saja, sehingga diperlukan kewaspadaan dan kerja sama dari semua pihak untuk menghadapinya," ujar Ginting.